Beberapa bulan saya di kota Medan, sangat jauh terasa perbedaan ketika saya dulu meninggalkan Medan kira-kira 6 setengah tahun yang lalu. Masyarakatnya berubah, budaya berubah, kondisi kota berubah, intinya yang tidak berubah hanya makanan Medannya saja, semuanya tetap sedap. Kalau kita berjalan di tengah kota sekarang ini, bukan hanya panas yang membakar luar biasa kita hadapi, juga macet yang makin parah di tiap persimpangan jalan, atau bahkan di jalanan yang jauh dari pusat keramaian sekali pun. Di semua tempat tampaknya segala macam kenderaan bertambah. Kalau dulunya becak mesin hanya sesekali kita jumpai, sekarang tiap simpang jalan kayaknya ada 10 becak menanti. Masyarakat terbantu dengan banyaknya becak ini. Entah makin cepat sampai tujuan, atau karena santai dan asiknya naik becak. Kalau saya yang kedua.
Masyarakat Indonesia pada umumnya memang masyarakat yang sangat temperamental belakangan ini. Tetapi tampaknya masyarakat Medan memang salah satu yang paling parah dari semuanya. Di jalanan yang memang padat kenderaan, misalnya di persimpangan yang memiliki lampu rambu lalu lintas, kita akan mendengar raungan klakson yang luar biasa memekakkan. Orang Medan sekarang ini jau h makin parah membunyikan klakson. Di mana-mana klakson dipakai dalam keadaan genting, atau memang perlu suara dari kenderaan, agar pejalan kaki atau pengguna jalan mengetahui ada kenderaan akan lewat segera.. Tetapi, di Medan, klakson dibunyikan untuk mengusir orang dari jalan yang akan kita lalui, walaupun jaraknya masih 200-300 meter lagi, walaupun sebenarnya mereka tidak sedang berada di bagian jalan yang sedang dan akan dilewati. Klakson sudah meraung dengan tujuan agar orang yang berdiri atau berada di jalan itu pergi dengan segera. Klakson akan kedengaran di lampu merah yang memang lampunya sedang merah, jalanan padat kenderaan atau sepi kenderaan, kemacetan atau tidak ada macet, di persimpangan, jalanan yang banyak pejalan kaki atau cuma 5 orang, banyak becak atau hanya ada 2 becak, di mana saja.
Kebiasaan yang berlangsung lama ini membuat orang semakin mengerti bahwa apabila ada suara klakson yang ditujukan padanya, kemungkinan besar itu menyuruhnya minggir, walaupun masih sangat jauh dan tidak mengganggu jalan. Sehingga semakin tak dipedulikan. Mereka yang sadar suara klaksonya kurang manjur mengusir orang, berkreasi dengan memasang klakson super berisik. Klakson yang dulunya hanya bersuara 10 desibel, sekarang menjadi 20 desibel; yang dulunya 30 menjadi 40. Semakin memekakkan, semakin baik. Semakin aneh dan unik suaranya, semakin menarik. Masyarakat mendapatkan hiburan suara aneh-aneh di jalanan, dan umumnya suara klakson super aneh super berisik ini dipasang pada angkutan umum (angkot) karena memang merekalah yang paling merasa penting supaya setiap orang meminggirkan dirinya ketika angkotnya lewat.
Teringat angkot, saya teringat pada banyak hal. Masalah angkot ini multikompleks. Disini melekat masalah ekonomi, kebijakan publik, dan kondisi sosial masyarakat umumnya. Di kota Medan sekarang ada ribuan angkot dari segala penjuru menuju segala penjuru. Kota Medan berbatasn langsung dengan Kabupaten Deli Serdang, sehingga angkot yang terdaftar dari kabupaten itu juga beroperasi di kota Medan. Bisa Anda bayangkan betapa banyaknya angkot. Bukan itu saja, angkot di Medan memiliki trayek macam-macam dan jarak tempuhnya luar biasa jauh. Ada yang sampai 60 kilometer. Misalkan, tujuan Perumnas Mandala (kabupaten Deli Serdang) ke Martubung (ini di dekat Pelabuhan Belawan). Ini jaraknya +/- 50 kilometer. Ada Tanjung Gusta (Lembaga Pemasyarakatan di dekat Helvetia) ke Terminal Amplas (hampir dekat Kabupaten Deli Serdang), yang satu ini jaraknya 60 kilometer. Dan masih banyak lagi. Angkot yang jarak tempuhnya menakjubkan ini (dibandingkan jarak tempuh angkot di Bandung atau Jakarta yang hanya 5-20 kilometer) didukung oleh asap kenderaan yang luar biasa menyesakkan, supir yang terbiasa berkendara off road, kondisi jalan raya yang kadang berlubang-kadang bergundukan (gundukan ini disebut 'polisi tidur' di Medan). Dan aparat lalu lintas yang aktif membiarkan masyarakat tanpa helm di jalanan dan pedagang memakan 50 persen jalan. Sempurnalah nasib kita pengguna jalan yang harus sabar merasakan semuanya ini. Oleh karena itu, jangan heran betapa melelahkannya kita pulang dari kantor atau sekolah tiap sore, menikmati suguhan jalanan ini, akhirnya badan serasa ingin diinjak-injak melepas lelah yang luar biasa—fatigue lahir bathin.
Begitu kenderaannya, begitu juga kondisi kotanya. Tampaknya selama 7 tahun belakangan ini invasi segala macam modernitas alam metropolitan masuk ke Medan. Entah masuk ke masyarakatnya atau masuk ke pejabat kotanya, sampai masuk angin. Dimana-mana mall atau plaza atau pusat belanja (terserah Anda mau menyebutnya apapun), bertingkat sampai 6-10 lantai. Fasilitasnya sangat banyak, keramaian kota tampak MakNyus dengan ramainya lampu hias mall dan lampu hias taman tiap malamnya. Pedagang tradisional makin tersingkir dan harus mengganti pekerjaanya dari pedagang akhirnya jadi supir angkot atau, ya tadi itu, supir becak, atau menganggur di rumah. Bagi mereka yang modal nekad dan duit cukup untuk ongkos ke Jawa atau Batam, disanalah tujuan mencari penghidupan yang layak. Jauh dari ke-taksanggupan-kota Medan-menyediakannya. Pemerintah kota yang memang—kayaknya—kehabisan ide menciptakan lapangan kerja alternatif memberikan izin—tanpa batas—kepada siapa pun yang “mendukung” kemacetan kota dengan menjadi menjalankan angkot atau becak.
Kejadian ini bukan membuktikan produktivitas, tetapi hilangnya harapan dan tidak adanya inovasi pemerintah mendukung warganya. Masyarakat frustrasi dan tak berdaya melawan. Mereka yang hanya berbekal ijaazah SMP—untung-untung punya ijazah SMA—harus siap dan mampu menempuh karier sebagai supir angkot. Anda mungkin tak akan percaya kalau saya katakan ada seorang dosen di perguruan tinggi negeri terkenal di Medan yang malam harinya moonlighting (atau bahasa ibu saya menyebutnya: nyambi) menarik becak. Menarik becak!!, bukan gerobak jualan atau angkot-- BECAK!!. Nah, kalau Anda berkunjung ke Medan dan naik becak motor disini, barangkali akan ketemu mahasiswa pasca sarjana atau sang dosen tadi. Kesempatan yang amat langka. Oh ya, bukan hanya dosen tadi yang menarik becak. Anaknya juga. Bahkan becak dayung. Yang dari ujung ke ujung, tak akan Anda temukan sebiji mesin pun di dalamnya. Masih sanggup? Oke.
Masyarakat kota Medan yang adalah pembayar pajak juga, menikmati jalanan yang berlubang kian kemari. Dimana ada perumahan penduduk, bahkan di tengah kota sekali pun bisa kita nikmati sakitnya menaiki kenderaan dan harus melewati jalanan macaam begini. Jalanan yang berlubang ini tampaknya akan segera diperbaiki kala penghujung jabatan sang Walikota berakhir dan mencalonkan diri menjadi Gubernur. Jabatan Walikota adalah batu loncatan sangat signifikan dan ultra-strategis menjadi Gubernur. Atau jadi presiden saja sekalian, barangkali ada yang akan mendukung. Semua pejabat SUMUT, entah ketua DPRD provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, Walikota, Bupati de el el. Sedang bersiap dalam gerilya memenangkan dukungan simpati masyarakat di penghujung jabatannya dan di awal masa suksesi akan dimulai.
Saya ceritakan satu contoh. Di depan rumah saya ada rumah ibadah yang dulunya biasa saja. Yah, paling 20 kali 20 meter persegi. Setelah saya kembali, saya agak kaget karena proses pembangunan sedang dimulai menuju dua lantai dan memperindah gedung. Saya kagum karena panitia pernah bercerita (ini saya curi dengan dari khotbah. Karena depan rumah, bisikan kuat saja dari dalam Masjid kita bisa dengar), panitia pembangunan berdoa dengan dana yang cuma 9 juta rupiah bisa memperbaiki sedikit bangunan dengan dukungan umat dalam perjalanannya. Ternyata, suatu ketika ada tamu besar datang kesana. Ternyata sang Bupati kami datang. Berbicara sedikit jam, beliau berangkat lagi. Ketua DPRD tak mau ketinggalan. Dalam jarak waktu sebulan, beliau datang. Nah ini, bukan hanya “tamu besar”, tapi benar-benar besar. Hampir dua kali badan saya yang juga besar. Tampaknya tebar pesona sedikit akan memperindah “persahabatan” antara warga dengan pejabat. Besar harapan beliau masyarakat akan mendukungnya. Besar harapan saya, beliau-beliau tak akan terpilih, atau berani-berani mencalonkan diri.
Bicara Medan tak lengkap rasanya tanpa bicara masalah mati lampu. Saya tahu di Indonesia sekarang ini mati lampu adalah gejala biasa dari masyarakat modern. Anda perlu merasakan mati lampu demi solidaritas bersama bergiliran menikmati listrik. Saya pernah menikmati putus listrik bergiliran di Jayapura-Papua, Bandung dan Jatinangor-Jawa Barat, Kutacane-Nangroe Aceh Darusalam, dan Medan-Sumatera Utara. Bagi pemerintah daerah, masalah mati lampu atau putusnya aliran listrik dari PLN, bukan masalah besar tampaknya. Untunglah memang Michael Faraday dan kawan-kawan pernah menemukan generator dan motor listrik sehingga penemuan itu membantu masyarakat tidak gigit jari kala listrik putus. Masih ada generator yang harganya tidak murah dan gampang didapat. Bisnis yang baik jika Anda hendak jualan generator di Medan sekarang ini. PASTI LAKU!!. Tapi yang paling cepat kaya adalah mereka yang bisa meyakinkan pemerintah untuk memakai sumber energi alternatif. Pemerintah pusat dan daerah memang perlu bicara “7-rius” (bukan se-”rius”, karena cuma sekali “rius”. Harus berkali-kali “rius”) untuk masalah ini. Indonesia harus mencari sumber energi alternatif!. Cari dari tumbuhan, cari dari bahan tambang, cari dari angin, cari dari panas (baik dari langit maupun dalam perut bumi). Indonesia butuh secepatnya mengganti paradigma “INDONESIA KAYA MINYAK! KAYA AIR!”. Itu jualan lama. Baiknya kita keluar dari OPEC karena adaalah kebohongan sejagat kalau Indonesia pengekspor minyak. Wong, impor lebih banyak kok. Apalagi bicara air. Di dalam bumi saja airnya sudah mau habis, apalagi di sungai. Banyak sungai di Aceh contohnya yang berubah arah alirannya karena alam yang rusak. Bahkan lari sampai ratusan meter. Entah bagaimana caranya kalau aliran sungai yang luar biasa besar tadi lari ratusan meter ke rumah penduduk, bukannya ke pembangkit listrik yang disediakan negara.
Kembali ke laptop!. Sumber energi terbarukan dari angin, panas bumi, bio-diesel, panas matahari, bio-gas, de el el sudah banyak diteliti dan sahih bukti ilmiahnya. Kalau nuklir, kita musti belajar lagi. Kita punya SDM yang bisa mengurusnya. Bukan hanya itu, Sumber alami energi terbarukan tadi cocok di alam Indonesia, apalagi Sumatera Utara. Panas luar biasa dari langit banyak, lahan menanam jarak atau sawit banyak. Apalagi sawit, minta ampun banyaknya. Angin, banyak. Hebat lah pokoknya kalau saja pemerintah daerah mengerti ini. Di gerbang bandara atau pelabuhan internasional nanti saya bisa bayangkan ada kalimat: “SELAMAT DATANG DI KOTA MEDAN, SUMATERA UTARA, INDONESIA. SELAMAT DATANG DAN MENIKMATI KOTA MEMAKAI LISTRIK DENGAN ENERGI TERBARUKAN. KAMI MENDUKUNG ENERGI YANG HEMAT DAN MENYAYANGI LINGKUNGAN, KARENA MEMANG BUMI MAKIN TUA”.
1 comment:
Hahhaha...
sebenarnya membicarakan hal itu juga sudah sangat membosankan bagiku. Waktu kuliah dulu dan ngajar di bandung, aku udah empot-empotan ngomong betapa memalukannya jadi orang Indonesia. Ribut ngurusin yang bisa (mustahil) diurusin.
Kalau saja kita punya hubungan diplomatik dengan Israeil, kita tidak akan memiliki kesulitan (setidaknya lebih mudah) untuk memasukkan obat atau apapun juga namanya ke Israel.
Back channel diplomacy (via Jordan atau Mesir) juga gak gampang dan kemungkinan besar gak bisa masukin obat kesana. Orang orang Sinting (sorry), yang mau jihad kesana juga budohnya minta maaf. Wong palestina aja (Hezbollah atau Hamas) yang senjatanya jauh lebih canggih aja gak bisa ngalahin Israil kok...
Well, mau gimana lagi bang..
Euphoria tahun baruan dan liburan ke Bandung mengalahkan otakku untuk lebih konsentrasi nonton daripda mikirin Israel...
Walaupun orang palestina still in my prayers...
Post a Comment