Kalau di bagian Indonesia sebelah Aceh sini, terutama bagian barat ke selatan, mulai Aceh Jaya ke Aceh Barat Daya (abdya), ada kebiasaan yang namanya ”Meugang” (baca: megang). Seumur hidup baru sekali ini saya dengar istilah itu, dan baru tahun ini juga melihat masyarakat disini merayakannya. Meugang, ternyata memang lazim di Aceh bagian barat ke selatan tadi. Yang khas dalam ritus ini adalah tradisi makan daging kerbau sampai puas sehari dua hari sebelum puasa. Semua anggota keluarga harus makan dengan sepuas-puasnya daging kerbau baru sah puasa. Entah daging direndang, digulai, atau diapain pun, yang penting daging harus ada. Ayam, kambing, telur, atau sayur hanya teman daging kerbau, mereka bukan bintangnya di ritual meugang ini. Kira kira begitu. Tak heran, karena memang tradisi yang turun temurun dan dari generasi ke generasi dikerjakan, kalau tidak ada daging kerbau di rumah maka puasa belum sah. Persiapan belum pas. Tak heran makanya harga daging kerbau di sini mahal luar biasa. Bisa 120 ribu sampai 150 ribu sekilo.
Daging yang mereka beli bukan hanya sekilo dua kilo, bahkan banyak yang sanggup belanja sampai 5 kilo bahkan lebih kalau memang keluarganya besar. Maka tak heran bisnis daging kerbau laris di sini. Banyak orang yang beralih profesi sebulan menjelang puasa. Petani, pedagang beras, supir, pegawai biasa semuanya jadi pedagang daging kerbau, termasuk landlord saya di Nagan. Pak Sabirin, menantunya, anaknya, temennya berbisnis kerbau. Mereka belanja kerbau ke daerah pedalaman, supaya dapat harga yang lebih murah, terus dijual atau dipotong lalu dijual lagi di pasar pas sebelum meugang. Banyak yang sanggup membeli 2 ekor, bahkan Pak Sabirin membeli 6 ekor sekaligus! Uang darimana, saya nggak tahu. Dan nyatanya dia balik modal, bahkan lebih. Dari satu ekor kerbau bisa dapat 1 sampai 2 juta. Lumayan untuk bekal Lebaran nanti.
Bagi orang di luar Aceh, kebiasaan yang lumayan mahal ini pasti agak sulit dibayangkan. Untuk belanja daging ratusan ribu demi tradisi yang mahal mungkin sulit dibayangkan. Barangkali lebih baik dicarikan daging alternatif: ayam atau kambing misalkan. Tapi bagi orang Aceh, ini penting. Saya bertanya pada beberapa orang, bahkan tukang becak, apakah di rumahnya akan memasak daging kerbau? Dan ternyata hampir semuanya menjawab: Ya!. Semuanya akan berusaha semampunya menyediakan uang untuk belanja daging kerbau. Uang bukan bukan masalah, kalaupun berarti utang dulu ke tetangga. Karakter orang Aceh memang unik, kalau tidak dikatakan mahal.
Saya dikegetkan bukan hanya sekali ini tentang karakter orang Aceh yang satu ini. Setidaknya ini yang ketiga kali. Yang pertama kali adalah mengingat karakter orang Aceh yang selalu membeli barang paling baru paling mahal paling bergengsi. Ada dorongan yang luar biasa bagi orang-orang kaya baru di Aceh untuk belanja mobil yang terbagus. Jangan pernah bayangkan orang Aceh belanja mobil tipe Espass, minibus, atau pick-up. Sepeda motor, atau bahasa Acehnya ”kereta”, juga yang terbaru. Di jalanan di Aceh, terutama kota besar, mobil yang berseliweran itu Kijang Innova, Harrier, Honda CRV terbaru. Sepeda motor juga begitu. Tipe yang terbaru dan mahal.
Yang kedua: harga BBM. Barangkali satu-satunya provinsi di Indonesia dimana tidak ada atau katakanlah sepi demonstrasi kenaikan harga BBM Cuma di Aceh sini. Harga barang yang memang mahal bukan kepalang—dibandingkan harga di Pulau Jawa dan Medan misalnya—memang mengejutkan bagi mereka yang pertama kali sampai dan menyempatkan tingggal beberapa lama di Aceh. Bagi masyarakat Aceh harga barang bukan masalah, yang jadi masalah apabila barang yang dicari tidak ada di pasar. Harga nomor dua atau kesekian, barang harus ada, itu mottonya. Jadi jangan heran harga daging yang mahal sekali pun akan dicari, asalkan barangnya ada. Sehingga saya jelas mengerti kenapa tidak ada demo BBM di Aceh. Masyarakat tidak begitu merasa ada perubahan signifikan kenaikan BBM 30%, bahkan 50% barangkali. Karena memang semuanya sudah mahal sekali dan kembali ke motto: ”asalkan barang ada, hana (tidak ada) masalah”. Nah, yang ketiga, ya, harga daging tadi. Untuk tradisi dan selera yang tinggi, harga bisa dijangkau. Untuk yang ketiga tadi, barangkali orang Indonesia di daerah bisa terkagum-kagum.
No comments:
Post a Comment