Kalau mendengar nama ikannya, ”lele”, barangkali gak bakalan banyak orang yang tertarik. Apalagi mereka-mereka yang secara lahir batin punya permusuhan dengan lele. Apakah karena bentuknya, baunya, rasanya, bahkan ini lucunya, tampang ikannya. Ada teman yang sumpah mati gak akan mau makan lele. Tapi itu orang lain. Kalau saya beda. Memang kalau namanya lele, saya suka setengah mati. Ya setengah mati karena kalau sepenuh mati, kapan makan lelenya. Pertama kali saya jatuh cinta sama lele waktu kuliah dulu di Bandung. Ada satu restoran Padang, namanya ”Ikonyo”, yang punya lele goreng sambel khas yang kalau sekarang saya ingat-ingat bentuknya, ludah rasanya ngacir dari mulut, turun ke lidah, bentar lagi jatuh. Uenaaaaak sekali....
Cerita saya yang ini tentang lele yang lain. Kalau menurut saya, paling enak sedunia. Eh ini beneran loh, paling enak emang. Sedunia disini maksudnya sedunia Indonesia. Belahan dunia lain gak tau, soalnya gak pernah ketemu lele goreng di dunia lain. Lele atau ”limbek” (entah begini cara menulisnya, saya gak tau. Kalau salah mohon maaf), adalah sumber pendapatan bagi banyak nelayan musiman di Nagan Raya. Paling banyak, lele ini didatangkan dari kawasan kecamatan Kuala Pesisir, Tadu Raya, Kuala, dan Darul Makmur. Ini lele tidak dipelihara secara khusus. Mereka hidup liar di alam. Yah kayak ikan hiu aja di laut, gitu. Kan liar... Nah, mereka yang separuh hidupnya bergantung pada ikan ini, setiap hari (sore atau malam) memasak bubu atau semacam perangkap sederhana di kali-kali atau sungai kecil atau muara dan besok paginya melihat hasil tangkapannya. Kalau beruntung ikannya masuk banyak, beruntunglah mereka karena sekilonya ikan ini bisa mencapai empatpuluh ribu perak, bahkan bisa 60.000 kalau lagi mahal-mahalnya (dalam rupiah yah..). Nah, yang menampung ikan ini untuk diolah menjadi makanan ada banyak. Selain tentu saja dijual ke pasar yang pasti laku, banyak juga yang langsung ke ”penadah” yang berupa restoran atau rumah makan. Salah satu dari rumah makan ini adalah milik Pak Saminan dan Ibu Hasnah.
Suami dan istri ini ditemani dua orang waiter (saya bingung bahasa Indonesianya apaan, kalau pelayan terlalu kasar. Yah waiter aja deh ya) yang hanya buka setiap harinya dari jam 11 siang sampe jam 6 sore. Warungnya gak punya judul. Kalau ditanya yang punya jawabnya: ”Emang sengaja. Gak perlu pake nama-nama”. Saya gak ngeh awalnya. Apa pula maksudnya. Tapi saya mengerti sekarang. Gak pake nama aja laku keras kok, ngapain mesti repot dinamain. Di warung ini, peak hour-nya itu jam 12.00-14.00. Jangan pernah datang kesini untuk sarapan; terlalu pagi. Dari luar, warung sederhana ini tampak biasa aja. Gak ada banner atau orang yang teriak-teriak supaya kita masuk ke dalamnya. Hampir sama dengan deretan warung nasi lainnya. Lapangan parkirnya pun sering numpang dengan orang lain. Warung yang ini lain dari yang lain. Letaknya pas warung pertama dari arah Simpang Peut menuju Langkak (bandara) sebelah kiri. Kebetulan di sebelahnya ada warung jualan beras. Kok jadi bicara warung.... Nah, di warung nasi yang satu ini ada lumayan banyak pilihan makanan, tapi yang utama yang judulnya ”limbek”. Karena terkenalnya ini, yah saya juga ikut coba.
Pertama kali saya pikir apa sih bedanya dengan ikan lele lain, atau warung lain, soalnya saya sudah coba ratusan lele di ratusan warung lele di banyak tempat. Kok ini orang banyak bilang beda. Saya pandang kiri kanan, manatau ada yang dikenal. Eh ternyata Bupati Nagan Raya, Pak Zulkarnaini, lagi makan di warung ini. Ini warung penuh sesak, orang makan lahap betul, banyak-banyak pula. Selain Bupati Nagan Raya, pejabat dari beberapa kabupaten menjadikan warung ini tempat makan favorit mereka. Karena makanannya lumayan mahal, jadi yang parkir makan itu manusia dengan segala jenis mobil mewah dan segala profesi.
Saatnya berhenti ngeliatin orang yang makan. Akhirnya saya ikut coba mulai ambil nasi. Pertama saya ambil ikan lele gulainya, lalu beberapa potong ikan sambalnya. Bumbu utama di warung ini adalah asam sunti atau asam belimbing wuluh khas Aceh yang dikeringkan. Ini asam masuk di dalam gulai dan sambal ikan tadi. Masuk ke mulut saya, pelan-pelan rasanya aneh pertama. Kok asam ini enak betul. Lalu mengoyak sedikit daging ikannya, saya rasakan sensasi yang lain. Manis, lembut, indescribable¸ susah dicari bahasa Indonesianya. Enak betul. Muaknyussss. Sekali lagi saya masukkan ikan (yang sudah digoreng terlebih dulu) dan sambalnya ke mulut, sampai ke titik klimaks kenikmatan rasa. Dobel muaknyusss. Semua ikan lele kalah! Semua kalah di meja ini.
Dari pengalaman di satu titik kampung di Aceh ini, saya berjalan keliling Aceh dan selalu mencari lele. Entah digoreng entah diapain, terserah deh. Lucunya, saya tak ketemu rasa yang sama. Lele di tempat lain beda betul rasanya apalagi bumbunya. Warung Bu Hasnah emang beda. Ikan lele dari ”surga” itu ketemu bumbu sunti ternyata beda betul. Saya ketagihan luar biasa. Walaupun hargnya di atas harga rata-rata ikan, saya tetap jatuh cinta. Sekali makan saya bisa menghabiskan 3-6 potong ikan. Se-ekornya dihargai 8 ribu perak. Hitung aja sendiri berapa duit saya habiskan sekali makan.
Karena saya bekerja dan pulang ke rumah selalu harus melewati jalan ini 70 kilometer pulang pergi, saya hampir selalu mampir, Senin sampe Jumat. Sampe teman saya bilang: ”belum pernah aku ketemu orang segila ini dengan ikan lele, atau dengan ikan apapun di dunia”. Hahahaha.....Emang dia benar kayaknya. Saya merasa ”berdosa” di dalam tubuh ini kalau hanya lewat dan tak singgah di warung ini. Walau hanya sekadar membungkus ikannya. Kalau tak singgah, semua ibadah batal. Tapi petualangan saya belum berhenti. Saya akan tetap mencari warung jualan lele goreng di manapaun saya pergi sampai saya menemukan saingan berat ikan lele khas Langkak, Nagan Raya terenak sedunia ini.
1 comment:
buat bang jhon,
saya adik angkatanmu di HI unpad. saya salut pada abang yang sangat produktif menulis. apalagi sekarang abang saya dengar sudah kerja di PBB di aceh. semoga karir abang makin bagus. semoga juga abang mampu menemukan lele lain yang lebih enak dari lele langkak.
Post a Comment