Jenderal Susno dan Negeri Korupsi
Saya tak tau apakah Jenderal Susno sengaja “membakar” kantor orang dengan tujuan membakar kantornya sendiri, atau memang dia tidak mau tahu siapa saja yang bakal dibakarnya dengan menuduh junior-juniornya berkomplot dengan Gayus Tambunan. Yang pasti, siapapun pasti jantungan sekarang ini kalau-kalau merasa pernah berbuat jahat selama Jenderal Susno masih jadi teman mereka. Kalau-kalau selama ini tidak pernah mengajak “arisan” bareng dengan Pak Susno. Pak Susno yang dengan senang hati membuat semua orang memakinya ketika menghabisi Cicak, sekarang diundang bicara dari seluruh penjuru angin. Semua menunggu kantor mana lagi yang akan jadi topik korupsi minggu depan.
Kalau ada tokoh yang jadi person the year, kayaknya “korupsi” bisa jadi topic of this year. Mulai dari tuduhan kepada Pak Bibit-Chandra, Century Gate, KBRI Malaysia Gate, Miranda-Gultom-Gate, Deplu-Travel-Gate, Pajak sampai Pertamina. Korupsi jadi bintangnya. Dulmatin dan Presiden Obama cuma numpang lewat sebentar. Kita ditunjukkan bahwa hampir tak ada kantor pamong negeri ini yang tidak sakit. Parah-parah lagi sakitnya. Tak heran negeri ini paling korup se Asia Pasifik.
Kaget Massal
Saya sangat kecewa melihat pejabat Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan bisa kaget ketika wartawan mencecar mereka atas kasus Gayus. Selama hampir 30 tahun saya hidup, tidak pernah mengenal orang yang bekerja di dirjen yang satu itu, yang tidak punya mobil, punya rumah bagus dan mewah, dan membeli barang-barang mewah juga. Setidaknya mereka yang sudah 5 atau 10 tahun bekerja. Kalaupun ada yang belum pakai mobil, mungkin karena rumahnya dekat kantor, atau malas pakai mobil. Pejabat di departemen inilah yang paling berkuasa mengatur uang masuk dan keluar.
Gayus, yang umurnya beda-beda tipis dari saya, yang baru melayani negeri ini sejak 2004, sudah mengalahkan kekayaan seluruh keluarga opung saya dari atas sampai ke generasi ketiga kalau dijual. Itupun kalau ada yang mau beli. Masak, selama 5-6 tahun inspektorat tidak ada yang curiga dengan ulahnya? Masak sampai bisa membeli properti di Singapura, aparteman dan vila tidak ada yang pernah tahu dan melapor? Mobilnya saja sampai berapa banyak dan gonta-ganti. Masak baru heran sekarang? Dengan gaji seratus juta perak sebulan pun, perlu berapa tahun dia bisa beli itu semua? Give me a break! Kalau dia sekaya itu, berarti dia juga bayar pajak banyak sekali dong! Orang pajak nipu pajak juga.
Kita harus ikut malu
Melihat tayangan televisi dan isi surat kabar, isinya seirama sepenanggungan menyalahkan system di dirjen pajak dan kelakuan immoral pegawainya, Gayus Tambunan. Orang Batak satu ini bukan hanya mempermalukan bangsa dan korpsnya (jujur juga sebagai orang Batak saya malu), tetapi juga sekaligus mempermalukan kita semua. Saya kira media massa dan kita semua kurang jujur. Memang salah Gayus memperkaya diri sendiri. Tapi bukankah juga mereka yang “memakai jasanya” juga diperkaya? Gayus jelas korupsi. Tapi, klien-kliennya juga korupsi. Kenapa tidak ada perusahaan atau pribadi yang “dimenangkan kasusnya” di pengadilan dimunculkan, ditanyakan, dimintai keterangan? Gayus jelas butuh duit dan memperkaya dirinya dan arisan makelar kasusnya, tapi lebih parah dari itu, klien yang “ditolongnya” jelas setuju untuk menyuapnya. Apa yang terjadi pada Gayus tidak berdiri sendiri. Masyarakat pembayar pajak juga punya andil disini.
Kultur birokrasi dan perkembangan zaman memang berbanding terbalik. Semakin maju zaman, semakin tua umur bumi, semakin malasnya orang-orang menunggu. Waktu terasa sangat singkat dan sangat mahal. Demi mengantri dan menanti 3 hari, kita bersedia membayar 3 kali. Demi tidak mengantri, kita harus membayar uang delivery. Itulah hukum peradaban sekarang. Bukan hanya itu, kita semua bangsa pemaaf ini, merasa wajar membayar lebih dari harga karcis kalau memang kita harus ditahan menunggu. Kita tidak mau disamakan dengan orang lain yang harus mengantri. Kita harus berbeda: Privileged. Lucunya bukan 1-2 orang yang pingin dibegitukan. Ada 1-2 batalyon ibu-ibu dan bapak-bapak pengusaha yang bersedia melakukannya. Main mata sedikit, petugas pajak mengangguk, urusan beres. Kasus menang, uang kembali, semua senang, semua kenyang, semua pura-pura bodoh, dengan modal sedikit.
Tidak pantas kita ikut gerakan boikot pajak, karena bukan Gayus yang memeras dan menodong, tapi orang-orang biasa seperti kita, yang tak mau repot dan mahal tadi yang membuat sistem macam begini terjadi. Kalau memang departemen keuangan menghabiskan uang pajak tanah kita membiayai pelesiran dirjen mereka ke luar negeri, baru usul boikot itu kelihatan pantas. Untuk itu kita harus berhenti.
Kita berdosa untuk hal ini. Kita harus perbaiki cara pandang dan prinsip kita. Dirjen Pajak juga harus bertobat dan berani menangkap hantu-hantu di semua kantor penegak hukum dan kantor penghitung uang rakyat ini. Mereka dibayar lebih tinggi dari pegawai negara lainnya karena kita sadar dan sepakat tanggung jawab mereka lebih serius, lebih detail, dan vital.
Terima kasih Gayus Tambunan
Saya yakin Gayus akan ditangkap atau menyerahkan diri dan kemudian diadili. Gayus adalah orang pertama dan kalau bisa bukan yang terakhir yang membuka kesadaran massal bangsa ini. Pemimpin negeri harus serius melihat kekecewaan masyarakat. Hampir tidak ada yang menggembirakan dari pemerintah dan negara ini. Rasa percaya masyarakat kepada pemerintah sudah semakin tipis. Ibarat bensin disiram di atas kertas, kemarahan rakyat sudah membuat kertas kuyup. Tinggal satu batang korek api, terbakarlah semua. Kasus dan expose seperti ini harus dieksekusi dengan sebuah gerakan massal dan nyata dari penegak hukum di seluruh Indonesia. Herannya, hanya di Jakarta saja yang aparat hukumnya bergerak dinamis. Daerah-daerah juga seharusnya bisa bergerak. Hantu-hantu macam Gayus begini bukan hanya di Gedung Pajak, di kantor Bupati dan Kecamatan juga banyak.
No comments:
Post a Comment