Saya heran melihat mahasiswa sekarang, utamanya yang senang demo. Masak kerbau, kambing, ayam, dan teman-temannya yg lain dibawa ke kota. Mereka berteriak-teriak sambil membawa berputar-putar kota hewan-hewan ini. Sungguh mati saya yakin kerbau itu tak tau kalau dirinya adalah objek penderita perlambang kritik mahasiswa. Saya juga yakin di dalam hati kerbau hanya ada satu: kapan balik ke kandang, kapan aku ketemu sawah lagi, ketemu rumput lagi. Berdemo dan difoto bukanlah karakter seekor kerbau. Membawa kerbau memang sungguh tak etis dalam mengkritik pemerintah. Akan banyak interpretas macam-macam dari istana sampai senayan.
Tapi yang membuat saya heran adalah kenapa Pak SBY merasa kerbau itu hewan malas dan seolah-olah tak ada gunanya. Kerbau itulah hewan yang hampir tak punya waktu luang karena harus bekerja pagi sampai malam. Udah mati pun, semua tubuhnya masih bisa dipake. Dari tanduk sampai tumit kaki bisa dipakai. Nah, dengan begitu disamakan dengan kerbau berarti bukan disamakan dengan pemalas. Justru jauh dari pemalas. Entah kenapa presiden bisa mikirnya kesana. Saya sungguh bingung. Apa ada jenis kerbau lain yang memang pemalas. Nah, dari sini justru mahasiswa itu gagal dalam protesnya, karena simbolisasi kritik mereka salah. Justru menunjukkan bahwa pemerintahan sekarang itu tahan capek, tahan banting, tidak kenal lelah. Nah kalau begitu cuma satu kesimpulan saya: presiden kita terlalu sensitif.
Barangkali lima tahun lebih sedikit berkuasa memang membuat seseorang bisa sangat sensitif, tak bisa menerima saran dan kritik, tak bisa berpikir jernih, tak bisa memilih kapan harus berkomentar dan kapan harus diam saja. Presiden kita sudah menunjukkan betapa kesalnya dia dengan kritik yang dalam dan terus-menerus. Mungkin memang kritik yang datang silih berganti sudah membuat emosi tak terhentikan. Emosi ingin marah dan membantah. Sungguhpun demikian, saya berpikir kita memang harus semua berpikir dan bekerja, dan mengkritik seperti kerbau. Yang berkuasa bekerja tanpa kenal lelah seperti kerbau; yang mengkritik juga mengevaluasi pemerintahan tanpa kenal malu seperti kerbau.
Tapi saya takut jangan sampai kita semua ikut-ikutan kayak kerbau, yang--permisi--buang kotoran di tempat dia makan. Yang tak tau lagi membedakan mana yang harus didahulukan. Kritik terus tapi tak bisa bekerja dan berbuat apa-apa. Atau sebaliknya berkuasa memerintah terus tanpa bisa dan mau menerima kritik. Kerja dan kritik itu berdekatan. Kalau kita tak tahu kita salah, semua yang kita kerjakan tidak akan punya arti apa-apa bagi siapapun. Kalau kita selalu menyalahkan (atau takut salah) pada pekerjaan kita, kita tidak akan berani bertindak apa-apa.
No comments:
Post a Comment