Wednesday, June 09, 2010

Keadilan kepada rakyat seharga 15 Milyar

Memang sulit benar bisa menakar kejadian yang akan terjadi setahun atau sebulan, bahkan seminggu dari hari ini. Di saat semua kecanggihan dunia bisa membuat seseorang terbang kemana saja ke ujung bumi, bertelpon dengan siapa saja yang kita mau jam berapa saja, dan mencari informasi apa saja tentang suatu hal seketika, membuat kita kadang merasa super. Merasa bisa mengaturr masa depan. Ternyata tidak.

Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa bulan Juni tahun ini bukanlah bulan kemarau bagi Indonesia. Setidaknya bukan musim kemarau bagi pulau Jawa dan dan utamanya bagi orang-orang Jakarta. Sepanjang bulan Mei saja hujan hampir tiap minggu. Hapalan dari kecil tentang iklim dan cuaca sudah tidak ada lagi patokannya. April sampai Oktober jelas-jelas bukan “sepenuhnya musim kemarau”. Itu soal alam. Soal manusia juga sama. Tidak ada yang bisa menyangka.

Siapa yang bisa menyangka, krisis yang kelihatannya masih akan lama berhenti di Sidoardjo juga dialami oleh masyarakat Amerika? Alam tidak bisa ditebak, tak bisa diatur. Kesalahan manusia juga begitu. Kita salah berpikir bahwa ahli tambang Indonesia bisa sama tak berdayanya dengan ahli tambang bule di Amerika sana. Minyak yang memenuhi lautan Teluk Karibia sudah lebih dari 20 juta barel tertumpah. Menyelesaikan dampak buruknya, membersihkannya akan menghabiskan hampir setengah abad mendatang, kata beberapa pakar. Kebocoran, lalu kebakaran ternyata berakibat bencana tumpahan minyak besar-besaran. Tak ada yang menyangka.

Tak ada satu manusia pun di kantor saya menyangka hari Jumat tanggal 4 Juni kemarin akan mendapatkan berita jelek. Pagi hari saya mendengar kabar Presiden Obama tidak akan datang ke Jakarta tanggal 15 Juni depan. Bukan hanya kaget. Semua rencana buyar, semua kekecewaan ditumpahkan dengan menjambak rambut di kepala, tidak doyan makan, dan sebagian jatuh sakit besoknya. Tidak akan ada yang menyangka. Yang paling kecewa dari ini semua, selain saya dan pendemo Flotilla , tentunya presiden kita. Sudah lebih 4 kali jadwalnya berubah, dan akhirnya berubah lagi. Sedih juga.

Di negara yang serba ajaib ini, tidak akan ada yang menyangka juga bahwa jualan citra, image baik, senyum dahsyat, dan sering tampil di tivi tidak lagi laku dijual untuk urusan politik. Tidak ada yang menyangka seorang “anak emas pak esbeye” dikalahkan oleh Anas. Analis yang paling jago pun belum tentu tahu hasilnya akan begini. Tak ada yang menyangka.

Di provinsi yang menjadi penyumbang trilyunan rupiah “upeti nasional”. Yang tanah dan minyaknya dikeruk untuk kemakmuran bersama ternyata membeli jembatan pun tak sanggup. Gayo Lues menjadi kabupaten yang harus menyaksikan 12 anak-anak kecil hanyut tewas setelah jembatan yang mereka naiki putus. Siapa yang menyangka jembatan yang mereka pakai selama ini harus menyerah juga. Tak ada yang menyangka. Hampir semua jalan kabupaten di Aceh sangat bagus, ternyata jembatannya tak pernah dipikirkan untuk diperbaiki. Akibatnya selusin anak Indonesia mati karena “kecelakaan”.
Yang paling tidak disangka-sangka minggu ini adalah usul “cemerlang” partai Golkar dan beberapa politisi partai lain yang mengusulkan dana aspirasi. Seluruh Indonesia diratakan pembangunannya alasan mereka.

Apa benar? 15 Milyar di Sidenreng apa sama nilainya, kemampuannya untuk membangun jalan raya di tempat lain? Apakah uang 15 Milyar yang rencananya dibagi rata di Jakarta, Simalungun, Monokwari, Belitung, Gunung Kidul bisa sama-sama memberikan nilai yang sama? Saya pastikan tidak. Apakah membangun satu gedung SD di Jakarta sama dengan satu gedung SD di pedalaman Kalimantan Selatan? Maksud saya, kita misalkan duit 15 milyar bisa membangun 10 gedung sekolah baru di Jakarta dan 10 sekolah baru di Puncak Jaya (itupun kalau sama harga semennya) akan berbeda sekali dari segala sisi. Jakarta jalan rayanya bagus, listriknya juga sama. Duit 15 Milyar bisa menyediakan internet gratis barangkali. Tapi di Puncak Jaya bagaimana? Saya yakin uang 15 M hanya habis membangun sekolah saja. Karena listrik tetap tidak ada, semuanya mahal disana. Kita frustrasi dengan ketidakadilan pemerataan pembangunan, tapi solusi yang dikeluarkan politisi kita sungguh menyakitkan perasaan. Apakah provinsi yang “memberi” negara Indonesia 10 trilyun setiap tahun harus menerima 15 milyar saja?, padahal ada provinsi lain yang—maafkan saya—menghasilkan di bawah itu? Dimana keadilannya? Seketika kita mendapatkan 15 M di tangan, kita langsung tahu bahwa uang itu tidak akan bisa membangun banyak hal. Lalu bagaimana? Langsung solusi semua masalah. U-U-D. ujung-ujungnya duit. Kita akan kasih mentahnya saja. Berharap mereka yang dibagi duit otomatis “bijaksana mengaturnya”.

Sungguh mengagetkan usul ini. Menyakitkan perasaan dan tidak sepantasnya dikeluarkan. Berani memikirkannya pun, sudah sangat memalukan. Kalau ingin memberikan kesejahteraan, yang paling tidak sejahtera harus mendapatkan paling banyak. Harus paling diperhatikan. Oleh karena itu, jangan heran kenapa orang Papua (atau daerah lainnya) selalu ingin merdeka. Kita pura-pura berhati mulia, ingin meninggikan martabat orang tertindas. Padahal kita dengan dungunya menindas mereka. Lebih dan lebih dalam lagi.

Hampir semua tugas kenegaraan yang dikerjakan DPR kita sepanjang mereka duduk dipilih tahun 2009 lalu hanyalah mengurusi Century-gate. Tak jadi masalah kalau mereka bisa membagi tugas. Sebagian mengurus century, sebagian mengurusi perut rakyat, membangun jalan. Eh ternyata, semuanya ikut-ikutan memikirkan itu. Tak ada Undang-undang baru yang disahkan DPR kita ini. Semuanya sibuk dalam wacana. Sayangnya pemerintahnya juga harus ikut-ikutan meladeni. Seperti kebocoran genteng rumah. Seluruh penghuni rumah hanya sibuk melihat ke atap, sebuk mencari tangga, sibuk ketakutan rumah kebanjiran kalau hujan. Yang harusnya bisa dikerjakan sekejap oleh satu dua orang dikerjakan selusin penghuni rumah. Padahal pintu rumah terbuka, jendela belum ditutup, maling dan semua teman-temannya masuk leluasa. Menghabisi perabotan, uang dan harta kita. Semua tetap memandang atap, ke atas genteng, takut kebanjiran. Padahal besok untuk makan sudah tak ada lagi uang…. Demi genteng semua tak makan…. Genteng tak selesai, harta habis digarap maling, banjir datang, lalu semuanya sibuk tunjuk-tunjukkan, lempar-lemparan, anak tak makan, penyakit berdatangan.

Sungguh mengagetkan, tak disangka-sangka, politisi kita tak berubah. Apakah kau menyangka begitu?

No comments:

Blog Archive