Saturday, October 16, 2010

Rumah Ibadah, Pemerintah, dan Masyarakat Indonesia






Dimuat di harian Suara Pembaruan 13 September 2010





Dengan cucuran keringat di kening, berganti-gantian pendeta dari sebuah gereja batak, Huria Kristen Batak Protestan Pondok Timur, Bekasi memimpin ibadah bagi jemaatnya setiap minggu pagi berbulan-bulan lamanya. Ibadah yang terakhir di depan istana, 15 Agustus lalu ternyata tak juga membuat masalah yang menerpa mereka selesai. Pemerintah Kota Bekasi, sebagaimana sebelumnya, tetap belum bisa memberikan jaminan kebebasan beribadah bagi jemaat ini. Setelah beberapa kali dilempari kotoran, diteriaki dengan cemooh, dan dipukul, hari ini jemaat gereja ini ditikam oleh orang tak dikenal dengan pisau yang mengharuskan korba harus di operasi.



Pendeta Luspida Simanjuntak, yang memang pemberani itu juga menerima pukulan yang merobek kulit di kepalanya, selain tentu saja memar di badan. Barangkali Pendeta Luspida tidak mengenal penyerangnya, tetapi sulit untuk tidak mempercayai bahwa penyerangnya pasti mengenal jemaat ini. Hanya satu hari sejak Terry Jones mengurungkan niatnya untuk tidak membakar Alquran, dua hari setelah perayaan Idul Fitri, sungguh pilihan hari yang tidak sembarangan bagi para penyerang. Setidaknya berita penyerangan ini membuat orang Indonesia, terutama umat Kristiani dan Muslim saling curiga. Pilihan korban dan hari yang spesifik membuat kita harus berpikir, bahwa ini pasti disengaja. Setidaknya bukan kriminal murni. Penyelidikan perlu diarahkan pada usaha provokasi yang jelas sangat sensitif bagi umat beragama di Indonesia.



Sebuah pernyataan yang cukup tegas berkaitan dengan rencana aksi pembakaran Alquran, dari Presiden SB ditunjukkan juga dengan surat khusus kepada Presiden Amerika Serikat sungguh kebijakan yang berani dan tegas, walaupun sangat terlambat. Ironinya, pemerintah yang sama tidak bisa berbuat banyak untuk jemaat, seperti HKBP Pondok Timur dan gereja lainnya, yang jelas-jelas dilanggar hak asasinya. Kita penting untuk mengecam perbuatan yang agitatif dan tak bermoral, tetapi sayangnya hanya bisa diam saja terhadap penindasan elemen bangsa sendiri.



Bisa Terus Terjadi“Kami akan terus beribadah, di mana pun, selama kami masih bisa, sampai pemerintah memberikan hak kami”. Kalimat tadi tercetus dalam satu pertemuan pribadi dengan Pendeta Luspida dan jemaatnya. Ini mereka tunjukkan dengan tetap saja datang ke lahan kosong di Ciketing. Lahan yang memang sudah menjadi hak mereka, tetap tidak boleh dipakai. Mereka bukan kelompok nekat, bukan kelompok yang mencari-cari perhatian. Mereka adalah kelompok masyarakat yang menuntut hak mereka beribadah di negeri mereka sendiri, di tanah yang bersusah-payah mereka dapatkan sendiri. Intinya, jemaat ini tidak akan berhenti beribadah di tengah lapangan, dan mereka yang tidak menyukainya tidak akan berhenti melarang, sehingga kemungkinan intimidasi dan kekerasan ini tampaknya belum akan berhenti sampai ada kebijakan revolusioner oleh negara.



Titik kritis terhadap masalah ini ada di tataran hukum dan implementasinya, selain tentu saja sosiologis. Pertama, dalam tataran hukum, pemerintah pusat perlu mensosialisikan dengan tegas perihal peraturan perundangan nasional berkaitan perizinan rumah ibadah dan semua persengketaanya. Pemerintah lokal, yang langsung berurusan dengan masyarakat perlu tegas. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu menjelaskan bagian mana yang menjadi porsi pemerintah pusat, dan mana yang menjadi porsi lokal, terutama wali kota dan bupati, karena dalam level inilah paling sering membaca dan mengerti dengan keliru. Sering pejabat daerah mengirimkan Satpol PP untuk “mengamankan” ibadah di lapangan parkir, tetapi justru keberadaan mereka sangat mengintimidasi, bukan melindungi. Polri juga perlu dipertegas posisi mereka ketika kerusuhan dan kekerasan agama terjadi dengan semacam pelatihan juklak kerusuhan agama. Selama ini polisi kita takut salah komando dan dituduh tidak beragama karena membela sebagian masyarakat. Polri adalah polisi bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan bagi seorang bupati atau wali kota, apalagi kelompok massa.



Sulit terbantahkan bahwa sering sekali Bupati/Walikota menyegel rumah ibadah karena adanya tekanan dari sekelompok pemuka. Entah karena ditakut-takuti atau memang karena ingin menarik simpati. Sering isu agama menjadi komoditas menjelang pemilihan kepada daerah. Polisi menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk bisa menghentikan intimidasi yang diarahkan kepada jemaat. Kedua, umat Kristiani juga perlu lebih sensitif dan inklusif dengan warga sekitar, sehingga para tetangga tahu dengan benar bahwa kegiatan ibadah tidak otomatis berhubungan dengan Kristenisasi. Umumnya masyarakat yang bermasalah dengan izin rumah ibadahnya adalah masyarakat pendatang. Hal ini bisa menguatkan dukungan masyarakat sekitar akan pembangunan rumah ibadah, karena umumnya kelompok masyarakat yang bergerombol memprotesnya datang dari daerah luar, dan sama sekali tidak dikenal masyarakat sekitar. Hal yang sama juga perlu dicermati kelompok agama lainnya. Isu minoritas dan mayoritas dipakai untuk melegalkan penindasan terhadap kebebasan beragama, padahal semua agama yang sekarang cenderung banyak jumlah pengikutnya adalah semuanya agama “pendatang”. Bukan agama “asli” di Indonesia. Ini juga otokritik bagi masyarakat modern Indonesia, yang cenderung hidup berkelompok saja, kurang bergaul, kurang bisa mengalami permasalahan masyarakat lokal. Pepatah “tidak kenal maka tak sayang” itu sungguh-sungguh besar dampaknya. Semakin kita kenal masyarakat lokal, semakin mereka mengerti mengapa kita memerlukan rumah ibadah itu.



Gajah dan Debu Alangkah baiknya apabila kita tidak hanya menuntut hak kita untuk didengarkan dan mendapatkan tempat ibadah, tetapi juga mendengarkan pendapat, bersentuhan langsung dengan masyarakat yang tiap-tiap hari harus tinggal di sebelah rumah ibadah kita. Mereka tentu tahu perubahan besar apa yang akan terjadi pada kehidupan mereka daripada kita yang hanya datang seminggu sekali atau dua kali. Kebebasan beragama adalah hak semua orang, di sisi lain hak berpendapat dan memilih adalah juga hak semua orang. Sekali lagi, ini penting bagi semua elemen bangsa kita. Beberapa minggu sebelum 11 September, masyarakat dari pelbagai agama saling menguatkan dialog dan kesepahaman bersama untuk menentang kegiatan tak bermoral pembakaran Alquran. Semua elemen agama dan pemerintah bisa bersatu. Terpetik satu pertanyaan, apakah kita semua bersatu karena takut akan dampak negatif dari peristiwa itu kepada kehidupan sosial bangsa kita, atau kita sama-sama sepakat bahwa pembakaran kitab suci, agama apa pun itu pantas untuk dikecam? Kita berpihak kepada dampak keamanannya atau filosofi moralitasnya?



Di sini kita dihadapkan kepada pertanyaan yang serius namun sensitif, apakah kita hanya bisa bersatu apabila ancaman sudah datang? Apakah kita hanya bisa bersuara terhadap orang luar, tetapi tidak kepada bangsa kita sendiri? Kepada ketidakadilan di negeri sendiri yang sudah sekian lama terjadi? Pengekangan terhadap berdirinya rumah ibadah bagi jemaat HKBP Pondok Timur sebenarnya adalah teriakan kita kepada debu di negeri seberang, sedangkan gajah di muka sendiri kita sulit untuk mengecamnya, apalagi membuatnya berhenti. Sudah saatnya kita menghapus segala macam aturan yang mengekang saudara-saudara kita beribadah, kepada keputusan pejabat negara yang menentukan sah tidaknya kita mendirikan rumah ibadah. Barangkali akan terdengar sangat irasional dan konyol, tetapi inilah yang membuat kita saling mencurigai dan melemparkan tuduhan ilegal terhadap peribadatan di negeri ini. Pemerintah dan semua elemen ulama dan pemuka agama di negeri kita perlu berembug untuk mencari solusinya. Kalau kita percaya bahwa beribadah dan memeluk agama apapun adalah hak semua orang, dan kita semua “pendatang” di negeri ini, sepertinya tidak begitu banyak alasan bagi kita membuat aturan sedemikian ruwetnya untuk masalah beribadah.



Penulis adalah Analis Politik dan Sosial di salah satu lembaga asing di Jakarta, Alumnus FISIP UNPAD

No comments:

Blog Archive