Saturday, October 16, 2010

AKUNTABILITAS INTERNAL POLRI dan HARAPAN BAGI KAPOLRI BARU


Singapura, 19 September 2010





Hukum adalah antiseptik

Seorang pria bernama M. Hanafi Riza dijatuhi hukuman penjara 4 bulan oleh pengadilan di Singapura karena mencuri uang di dompet yang dititipkan seseorang di kantornya. Dia ini seorang polisi, yang mencuri “hanya” 70 dolar Singapura atau sekitar 500 ribu rupiah dan harus masuk ke penjara yang ditujukan untuk pencuri dan pembunuh. Berita yang jarang kedengaran seperti ini muncul di salah satu koran di Singapura. Penulis cukup kaget bukan karena polisi bisa juga dipenjara, tetapi fakta hanya karena 500 ribu dan kejadiannya yang sudah lama (setahun lalu), tetapi penyelidikan dan pengadilan atasnya tak pernah berhenti sampai minggu ini. Penjara akan menjadi rumah baru polisi ini, yang tidak punya cacat cela dalam rekaman kariernya, yang adalah juga sumber keuangan kedua orangtua dan 2 adiknya yang masih bersekolah.



Penulis yakin, dia pasti malu untuk kembali ke kantornya, kembali menjadi polisi, kalaupun masih diberikan pengampunan. Akuntabilitas sebuah lembaga negara, apalagi penegak hukum, ada pada bagaimana sistem internal lembaga itu membuat semua elemennya patuh terhadap peraturan dan berani mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan masyarakat. Bagaimana lembaga itu, walaupun tanpa dibombardir dengan hinaan masyarakat dan komentar tajam dari kepala pemerintahan, sanggup membersihkan dirinya sendiri. Hakim dalam vonisnya menekankan betapa Tuan Riza sudah sangat mempermalukan korpsnya. Dan ini penting, tdak satu kalimat pun dalam berita itu dimana Kepolisian dikutip, atau berbicara membela Riza, atau mengkarakteristikkan perbuatannya sebagai tingkah laku “oknum”.



Di setiap negara demokratis yang maju dan beradab, hukum selalu ditempatkan di posisi paling tinggi. Hukum bisa membuat seorang pejabat di Jepang mengundurkan diri bahkan bunuh diri. Hukum yang ketat juga mencegah pejabat negara berani menerima suap di Cina. Hukum juga membuat negara seperti Singapura menjadi bersih, tertib, paling maju di Asia Tenggara. Hukum adalah antiseptik paling ampuh untuk mencegah pejabat negara bermain-main dengan tanggung jawabnya, dan membuat penduduk satu negara percaya satu lembaga benar-benar bersih dan pantas mengadili dengan seadil-adilnya.



Akuntabilitas dan kerusuhan massa

Pelbagai perselisihan massa yang melibatkan aparat keamanan, polisi atau militer belakangan ini, sungguh menarik untuk kita perhatikan. Polisi terlibat dengan kematian 7 orang di Buol, tuduhan penyiksaan tahanan politik di Maluku, dan terakhir kerusuhan di Monokwari, Papua Barat. Di semua peristiwa ini, jejak kekerasan tak bisa dilepaskan dari kepolisian kita. Polisi masih alpa di banyak tempat untuk mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan masyarakat.



Masyarakat mengadakan pengadilannya sendiri karena mereka percaya, lembaga penegak hukum tidak akan mampu mengadili masalahnya sendiri dengan adil. Masyarakat frustrasi melihat pengalaman buruk dimana-mana. Akuntabilitas tidak hanya berhubungan dengan penegakan hak asasi manusia atau sudah demokratis atau belumnya polisi kita, tapi lebih kepada penentuan apakah masyarakat percaya akan ada pengadilan yang benar-benar adil, terbuka, dan manusiawi. Pengadilan yang dimulai dari dalam diri lembaga itu sendiri, mulai dari unit paling kecil, ke kesatuannya, sampai kepada panglima. Sekarang ini kekerasan justru menjadi pilihan utama dan paling memuaskan rasa keadilan masyarakat. Masyarakat sangat tidak puas karena semuanya sangat tidak terpercaya.



Masyarakat menilai pelanggaran yang dilakukan oleh aparat polisi hanya sampai pada komentar bahwa pelaku adalah oknum. Laporan dari masyarakat bukan hanya tidak pernah diinventigasi lalu diadili, tetapi mati di tengah jalan karena komandan unit urung menyidik bawahannya. Tak heran mengapa masyarakat sangat emosi, karena polisi juga meletakkan emosi di depan. Emosi yang kadang kala salah sasaran. Masyarakat yang emosi tidak bisa diselesaikan dengan emosi juga.



Pesan untuk calon Kepala Polri baru

Kepolisian kita hampir sama tuanya dengan republik kita ini, sehingga kepolisian kita bisa dikatakan salah satu dari korps paling tua di Asia, setidaknya Asia Tenggara. Polisi kita melatih kepolisian negara lain, bahkan maju di garis depan pasukan penjaga perdamaian. Polisi kita secara pengalaman dan kemampuan tidak ada bedanya dengan polisi di negara maju sekalipun. Bahkan kepolisian kita sanggup dengan cepat menangkap dan mencegah tindak kejahatan yang paling mengerikan, perdagangan manusia, perdagangan obat bius dan tentunya terorisme. Semua prestasi baik ini dicoreng dengan kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian di daerah. Masyarakat masih lebih takut dengan polisi daripada lampu merah atau tanda dilarang parkir. Masyarakat dan polisi ada dalam hubungan cinta tapi benci. Dicintai karena berprestasi dan diharapkan dalam melindungi, tetapi dibenci karena di dalam dirinya masih belum berbenah diri. Sebentar dipuji karena menangkap Dr. Azhari, sebentar dibenci karena dirasa seolah-olah selalu membela FPI.



Mengapa akuntabilitas penting dimulai oleh Polri? Pertama, karena masyarakat sudah sangat tidak percaya dengan lembaga hukum dan peradilan, dan polisi adalah ujung tombaknya. Ditambah beberapa kasus perwira Polri yang terlibat penyuapan dan sebagainya. Kedua, polisi tiap-tiap hari bersentuhan dengan masyarakat dan masuk ke tengah-tengah masyarakat. Polisi selalu muncul ketika ada perselihan antara masyarakat dan yang pertama dicari masyarakat ketika membutuhkan pertolongan. Dan ketiga, polisi memakai anggaran negara untuk operasionalitasnya dan keempat, pengalamannya bisa menjadi lessons learnt kita untuk akuntabilitas lembaga militer, yang pasti akan lebih rumit dan resisten.



Restrukturisasi organisasi kepolisian tidak akan menyelesaikan masalah, begitu juga training selusin kali tidak akan membuat suatu lembaga menjadi transparan atau akuntabel. Semua harus dimulai dengan komitmen untuk menjadi akuntabilitas sebagai budaya. Janji terhadap diri sendiri, kepolisian sendiri dan dimulai dengan panglima. Akuntabilitas yang paripurna mulai dari anggaran, perekrutan, penyelidikan, dan promosi perlu untuk mengembalikan citra polisi yang kokoh, dan dengan sendirinya menciptakan kontrol bagi diri sendiri. Sudah saatnya juga bagi kepala Polri untuk berjanji terbuka dengan masyarakat dalam isu-isu yang paling mendapatkan perhatian publik. Kepala Polri yang baru sangat penting untuk menjadi lebih jujur, terbuka, dan berani; bahkan berani dicap atheis sekalipun.



Kemudian, secara perlahan, gradual, namun pasti Kepala Polri harus memulai sebuah sistem penilaian internal, semacam vetting system untuk dipakai sebagai catatan dalam kenaikan pangkat, promosi, demosi atau pemecatan. Standard-standard inilah yang bisa menjadi refleksi organisasi untuk bisa mengukur kinerja dan merancang kebijakan. Setiap personil Polri kemudian tunduk dengan sistem vetting ini, bukan hanya karena takut tidak dipromosikan, tetapi takut melanggar harapan masyarakat. Oleh karenannya vetting bisa dibuka kepada publik dan publik bisa memasukkan informasinya. Catatan paling penting dari sini adalah Kepala Polri harus bisa menjamin sistem ini bisa sustain dengan sendirinya, siapapun yang duduk di Trunojoyo 3 berpuluh-puluh tahun ke depan.



Polisi kita menjadi contoh

Penulis percaya masyarakat kita rindu melihat Kepolisian kita menjadi teladan, apalagi menjadi contoh baik bagi reformasi birokrasi secara nasional. Kepolisian dan masyarakat tidak akan menjadi “cinta tapi benci”, tetapi benar-benar cinta. Dengan begitu, pegawai negeri sipil yang lain bisa belajar, bagaimana mempertanggungjawabkan amanat rakyat. Sehingga kita akan melihat setiap anggota Polri kita akan bertanggung jawab untuk perbuatannya. Bila hanya mencuri 500 ribu rupiah saja bisa dipenjara empat bulan lamanya, pegawai negeri lainnya bisa segera sadar berapa milyar uang rakyat yang dihabiskannya dengan tidak hadir di kantor, memperpanjang sendiri liburan bersama. Seberapa pantas mereka masuk penjara sebenarnya. Sampai muncul kesadaran bahwa meliburkan diri berhari-hari berjamaah bukanlah hak, tetapi tindakan memalukan.









Oleh JF. Sinaga

(analis Politik dan Sosial di lembaga asing di Jakarta)

No comments:

Blog Archive