Friday, August 31, 2007

Minyak tanah, dimana engkau..?

Bangsa Indonesia yang tak pernah sepi dari bencana ini sekarang mengalami masalah baru lagi, namanya krisis bahan bakar rumah tangga, minyak tanah. Minyak tanah yang masih kerabat dekat bensin dan aspal ini sangat jarang ditemui di kota-kota besar di Indonesia sebulan ini. Entah kenapa pemerintah terkesan sangat lamban membereskannya. Apakah kerena percaya PT. Pertamina mampu membereskannya sendiri atau memang sudah sama dengan masyarakat banyak, letih membahasnya.

Masalah minyak masalah perasaan
Memang kalau belum sampai diri sendiri terganggu, rasa mengerti itu belum akan sampai di benak kita. Masyarakat Indonesia kebanyakan memang masih belum mendapatkan akses bahan bakar gas yang tiap hari iklan layanannya muncul di TV. Banyak orang bahkan yang melihat kompor gas pun barangkali belum sempat sampai tua. Kebanyakan masyarakat kota sekali pun masih menggunakan bahan bakar minyak. kalau tidak kenapa sampai ada antri minyak dan masalah krisis minyak seperti sekarang. Masalah minyak ini masalah dapur, masalah makanan, masalah perut, masalah sensitif. kalau saja setengah dari pejabat kita masih menggunakan kompor minyak seperti keluarga kami di Medan, maka saya bisa yakin masalah kelangkaan akan selesai paling lama seminggu. Masalahnya, minyak hanya menjadi masalah orang susah, orang bawah, orang miskin, yang aksesnya terhadap perubahan kebijakan sangat-sangat jauh. Begitu juga masalah listrik. Listrik di kota Medan sudah berbulan-bulan dijatah bergiliran. Dan untunglah sekarang sudah lebih baik. Di kota Medan mati lampunya pada dini hari. Pas kita bangun pagi, listrik menyala. Ini “hanya” menjadi masalah bagi mereka yang mulai bangun jam 3 atau 4 setiap pagi, sehingga harus berjalan dalam gelap.

Tidak ada bupati atau wakil bupati yang masih menggunakan kompor minyak dan yang masih belum membeli genset di rumahnya. Sehingga kalau-kalau saja mati lampu atau minyak langka, mereka tetap bisa merasa tenang. Sejauh masalahnya belum menyangkut diri mereka sendiri, itu belum masalah. Masyarakat Indonesia juga masyarakat permisif, yang pintu maafnya tak berkesudahan. Masalah yang sudah pernah terjadi 10 tahun lalu, atau bahkan 10 hari lalu, apabila terulang akibat kelalaian pemerintah, masyarakat siap memaafkan. Dengan segenap hati. Entah pelupa atau memang pemaaf, saya kurang jelas. Memang kita kena pikun nasional. Semua orang pikun sekaligus, menular pula. Bukan hanya masyarakatnya yang pikun. Pejabat negaranya juga ikut-ikutan. Bahkan jauh lebih akut.

Minyak tanah diganti gas?
Iklan yang tiap hari menayangkan kampanye penggunaan kompor gas disertai kampanye langsung kepada masyarakat sedang berlangsung dimana-mana. Ide pemakaian kompor gas guna melepaskan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil minyak dan mengurangi subsidi negara terdengar sangat indah dan ambisius. Telah disediakan jutaan kompor gas dimana-mana. Sampai dimana ide ini masih masuk di akal dan akan sukses?. Pertanyaan ini membuat saya berpikir. Untuk mengurusi minyak tanah saja susahnya minta ampun, apalagi gas. Gas bukan seperti air yang bisa masuk botol atau drum dan dibawa dengan truk-truk, diangkut dengan kapal laut atau lintas sungai, naik turun tongkang, dan seterusnya. Pengelolaan dan distribusi bahan bakar gas jauh lebih sensitif dan perlu manajemen hulu ke hilir yang sangat serius dan hati-hati. Bukan hanya distribusi, pabrik pengolahan, pengemasan, dan pelebel-an, serta manufaktur tabungnya pun harus hati-hati. Ini memang akan membutuhkan banyak tenaga kerja. Sektor riil akan membuka lapangan kerja baru.

Masalahnya sekarang orang-orang yang sama yang mengurusi industri minyak tanah dari hulu ke hilir adalah orang yang sama, badaan yang sama, sistem yang sama, pemerintah sama, dan otomatis peluang bencana yang sama, kalau salah manajemen. Untuk mengurusi minyak tanah ada mafianya, apakah untuk gas tidak mungkin ada?. Untuk mengurusi minyak tanah sering ada penyelewengan, apakah ada jaminan gas tidak?

Ide tentang alih teknologi dan menggunakan gas memang harus didukung karena lebih aman dan nyaman bagi alam. Lebih murah dan lebih hemat. Jauh lebih hemat. ditambah bangsa kita ini memang dianugerahi alam yang teramat kaya gas alam. Orang-orang di Pertamina pun memang terbiasa dengan teknologi pengeboran dan penyulingan gas yang bermutu tinggi dan terkenal di seantero bumi. Lucu memang. Untuk menjual ke negara asing mumpuni, tapi untuk bangsa sendiri setengah mati.

Perubahan paradigma dan koordinasi lintas sektoral
Perubahan pertama yang harus kita kerjakan adalah merubah paradigma bahwa Pertamina bisa melakukannya sendiri. Pertamina tidak bisa melakukan ini semua sendiri. Dan terbukti. Untuk menjual bahan bakar minya seperti bensin dan solar, seperti juga minyak tanah, Pertamina membantu pemerintah mendistribusikan gas dari Sabang ke Merauke. Pertamina ada di gunung ada di sungai, ada di lembah ada di laut. Perusahaan pertambangan besar harus dibiarkan menyediakan gas alam ini secara alamiah. Pertamina tidak lagi memonopoli. BP Migas dapat mengawasi. Pemerintah perlu mengatur supaya perusahaan pertambangan besar yang ada di suatu provinsi bertanggung jaawab untuk pengeboran dan pengolahan gas di wilayah itu. kalau saja mereka tidak sanggup, bisa masuk perusahaan swasta lain untuk mengurusi distribusinya. Kalau ada provinsi yang tidak memiliki pertambangan gas, dapat memperolehnya dario provinsi paling dekat dengannya. BP Migas, Bappenas dan Pertamina perlu bertemu membuat grand design proyek besar ini tentunya dikoordinasikan dalam pengawasan departemen dan kementerian terkait.

Koordinasi lintas sektor dimulai dari tingkat kabupaten/kota dan provinsi, karena memang harus otonom dalam pengurusannya. Kelak akan muncul perbedaan harga di tiap provinsi. Ini akan menciptakan persaingan mutu di antara penyedia jasa pelayanan. Yang termurah dan terbaik menjadi hak konsumen, hak rakyat seluruhnya. Pembagian keuntungan antara daerah dan perusahaan pertambangan dibicarakan terlebih dulu pemasukan daerah langsung akan semakin besar. kemakmuran akan semakin melebar. Sungguh lucu karena selama ini masyarakat yang di provinsinya ada puluhan pertambangan, justru yang paling miskin. ketinggalan pula dalam segala hal, penyakitan lagi. Kita tidak perlu banyak-banyak mengekspor ke luar negeri kalau memang di dalam negeri saja sudah balik modal. Selain itu, industri ini membuka lapangan baru: manufaktur kompor gas, tabung gas, selang gas, dan perawatan tabung gas. Jadi, gas berguna bagi manusia, baik bagi industri, mengurangi pengangguran, menambah penghasilan daerah, dan mengurangi jeritan alam karena polusi.

Masyarakat dapat mengawasi melalui lembaga swadaya masyarakat yang ada. Pemerintah tidak akan terlalu direpotkan karena masalah kelangkaan (kalau pun muncul) adalah masalah lokal. Bukan lagi nasional. Jauh lebih banyak masalah nasional yang membutuhkan presiden daripada
masalah minyak.


John Franky Audermansenn I. Sinaga
dapat dihubungi ke audermansenn@yahoo.com

1 comment:

Anonymous said...

Kalau kita lihat peta bumi, israel itu dikepung dari utara ke selatan, barat ke timur, hampir tak ada tempat bernapas. Negara-negara islam yang menjadi tetangganya (walaupun diantara mereka juga saling berantem), memusuhi Israel kulit dan daging. Negara yang punya hub diplomatik dengan nmereka hanya karena urusan bisnis. Mereka gak mau musuhan dengan israel karena masih mikirin bisnis. Money is still very important.

Intinya batas mereka dengan laut merupakan satu satunya tempat dimana mereka bisa aman. Logika memandang Israel gak bisa sama dengan kita memandang Palestina.

Aksi dan reaksi dari Israel adalah aksi dan reaksi "SURVIVAL". Mereka melakukan apa yang mereka lakukan sebagai wujud ketakutan yang luar biasa. "The best defense is to attack", jadi sekecil apapun gangguan dari Hezbollah, akan ditembak dengan meriam besar.
Tzipi Livni dan Ehud Barak , juga berasal dari golongan Israel yang sangat keras. Mereka keturunan Saduki yang luar biasa ketakutan dan anti- ide "Dua Bangsa-satu negara".

Jadi, kapan kita ke israel, kak???

Blog Archive