Friday, December 12, 2008

Presiden Habibie suka Cinta Fitri

Makin lama makin tak jelas

“Kalau mau siaran sinetron laku, cuma 3 syaratnya: harus ada bencongnya (kebanci-bancian), harus ada yang teraniaya (istri tertindas, menantu tersiksa, ibu tiri kejam dan seterusnya), dan terakhir, artis utamanya harus muda dan kalau bisa ganteng atau cantik. Dijamin laku!”. Itu kesimpulan saya dengan beberapa teman melihat tayangan televisi kita beberapa tahun ini.

Saya adalah salah satu orang di Indonesia yang udah bosan setengah mati dengan tayangan tv kita yang itu-itu aja. Untunglah berlangganan Indovision membuat saya bisa “meloncat pagar” ketempat lain. Saya bosan benar dengan sinetron yang orang-nya itu-itu aja, tema yang itu lagi itu lagi, acara gosip yang itu lagi itu lagi, katanya sinetron religius tapi isinya misterius. Anehnya ada juga acara kontes dangdut (yang katanya dadakan tapi berminggu-minggu orangnya itu lagi itu lagi), dengan muka ditopengi. Yang terakhir ini saya paling bingung. Buat apa muka ditopengi. Emang takut keliatan aslinya? Atau apa? Gak jelas. Gak ada variasi. Televisi yang dulunya semarak dengan hal-hal baru, informatif, dan sangat menghibur, makin lama saya rasakan makin membosankan. Judulnya televisi pendidikan, tapi entah dimana pesannya yang mendidik. Televisi makin makin banyak channelnya, tapi justru makin gak ada jelasnya. Makin lama saya menonton suatu tayangan, makin tak jelas bagi saya dimana pesan dari sinetron atau acara itu. Tapi itu saya, tak tahulah dengan Anda.

Seminggu lalu saya terkejut mengetahui fakta bahwa mantan presiden kita, Pak Habibie dan keluarga jatuh hati dengan sinetron yang ada di SCTV, Cinta Fitri. Mendengar itu saya bingung, karena sejauh yang saya tahu, sinetron itu ”tidak ada apa-apanya”. Entah kenapa pula ada season 3. Mengada-ada. Kenapa pula sampai orang seperti beliau menyukainya. Wah, tak taulah. Karena masih juga belum percaya, barangkali saya yang salah dan kampungan (karena gak tau sinetron keren) atau gak nasionalis karena benci produk nasional, saya tonton juga sekali lagi itu sinetron. Sayangnya, tetap aja gak ada ”gregetnya”, aktingya gak ada bagusnya, jalan ceritanya apalagi. Kalau mau jujur, dari skala 1-9, itu sinetron dan semua aktingnya saya kasih nilai 5. Mohon maaf sekali lagi.

Hiburan karena tidak ada pilihan

Muncul pertanyaan dalam hati saya: mengapa banyak orang suka acara yang sangat dangkal, minim pesan moral yang baik, bahkan kalau mau jujur memuakkan?. Ini bukan hanya bicara tentang sinetron, tapi juga tayangan semacam Mama Mia dan semua derivasinya, sinetron hantu belau yang getol diputar Indosiar yang di-dubbing dari pangkal sampai ujung. Herannya, ini yang disukai banyak orang. Gak tanggung-tanggung ribuan orang ngantri untuk duduk jadi voters di acaranya Eko Patrio, Ruben Onsu, dan Ivan Gunawan itu. Enam jam tiap malam kita harus melihat mereka saling lempar ejekan dan cacian. Tapi herannya semua kita ketawa. Adiksi macam apa yang sanggup membuat kita seperti itu?

Saya berpikir, mungkin ada dua jawaban. Mengapa mayoritas masyarakat kita menyukai tayangan macam tadi (yang sudah saya sebut diatas)? Mungkin karena memang standard intelektualitas, pencerahan berpikir, standard nilai masyarakat kita masih segitu. Dengan tampilan orang kampung dibedakin, lalu disuruh nyanyi dangdut sambil dizalimi sedikit dengan ”tantangan” seadanya, banyak orang merasa sebagai bagian dari fenomena yang mereka tonton. Mereka menjadi bagian dari orang yang ditindas (dizalimi). Sebagaimana mereka melihat sang istri ”disiksa” mertuanya, sebenarnya penonton kita juga begitu perasaannya. Mereka tersiksa. Entah karena mertuanya, atau keadaan lingkungannya, atau di kantornya, atau dengan pemerintahnya. Semakin mengenaskan keadaan dalam sinetron, kita semakin mengiba, kita merasa semakin dekat dengan kisah mereka, dengan hidup mereka, akhirnya semakin jatuh cinta. Kita dihibur dengan teriakan mereka karena kita menemukan diri kita disana. Apakah begitu?

Kalau benar begitu; kalau benar karena memang latar belakang pendidikan masyarakat kita menentukan betapa adiktifnya kita terhadap sinetron dan reality show yang semacam itu, bagaimana menjelaskan Pak Habibie? Dan saya kira banyak orang ”pandai” lain yang pendidikannya tinggi tapi masih sangat senang menonton sinetron yang kejar tayang tadi. Untuk ini saya hanya bisa berpikir karena: tidak ada alternatif tontonan lain. Hanya tinggal itu saja pada jam tayang itu yang bisa dimasukkan ke dalam ruang keluarga kita. Mengundang mereka masuk ke dalam ruangan kita, menghibur kita karena pilihannya cuma ada itu, atau kontes dangdut dadakan. No lesser evil. Karena banyak orang kota tidak fanatik dengan dangdut, maka Cinta Fitri bisa menghibur mereka.

Dari kota sampai ke pelosok dimana saya sering jalan dan keliling saya melihat hal yang sama. Orang tidak mau ketinggalan tayangan-tayangan tadi bahkan untuk sehari saja. Mungkinkah ini bisa berubah? Mungkinkah kita bisa melihat tayangan yang menghibur sekaligus mendidik, sekaligus bernas dengan nilai-nilai patriotisme dan kemanusiaan yang sewajarnya? Tapi kok saya pesimis. Karena sampai hari ini cuma ada tiga (ya cuma tiga) televisi nasional kita yang saya kira baik dan bagus tayangan dan pesannya. Pertama DAAI TV, kedua TVRI, ketiga Metro TV. Itupun masih dengan catatan. TVRI karena memang modalnya untuk bikin dan beli sinetron kejar tayang sulit, Metro kadang-kadang juga over-exposed terhadap aktivitas bosnya. Yah, paling DAAI TV yang gak ada neko-nekonya. Saya sungguh menunggu televisi kita menayangkan siaran dan acara bukan karena masyarakat suka. Bukan karena pasar minta (saja), tetapi ”memaksakan” nilai-nilai yang bermakna dalam membangun masyarakat kita. Menghibur sih boleh saja. Tapi kalau sampai menghibur terus tapi lupa harus bagaimana mengingatkan pemirsanya menghadapi persaingan dunia, ya kita akan begini-begini aja.

Tapi ini cuma saya. Tidak tau dengan Anda........

1 comment:

Anonymous said...

hidup spongebob!

Blog Archive