Satu-satunya tempat du dunia yang dicintai, dirindui, diperjuangkan oleh San Suu Kyi hanyalah Burma, atau bahasa pemerintahnya ”Myanmar”. Sampai hari ini Amerika Serikat masih menyebut negara ini Burma, bukan Myanmar, tapi sampai sekarang tidak bisa melakukan apa-apa untuk Suu Kyi. Hanya bisa teriak di TV, koran, radio. Lain pula negara-negara ASEAN, yang jelas-jelas tetangga Suu Kyi. Kayaknya memang beliau ini berjuang sendirian di negaranya. Di dunia ini, hanya ada satu orang di bumi yang dari hari dia mendapatkan nobel sampai hari ini tetap di penjara. Atau bahasa pemerintah Myanmar: tahanan. Bukan hanya karena skripsi saya tentang perjuangan beliau dan penderitaan masyarakat Burma, tapi secara pribadi saya kagum dengan beliau ini. Beliau lebih senang disiksa lahir batin di negeranya ini daripada menerima tawaran suaka dari negara lain. Beliau tidak menyaksikan pemakaman suaminya, tumbuhnya anak-anaknya sampai dewasa.
Karakter beliau yang tidak pernah mengenal ampun dengan pemerintah Burma ditunjukkan dengan mogok makan beberapa kali. Umurnya renta, tapi semangatnya tanpa akhir. Tak heran jutaan orang suka dengan perjuangannya. Ribuan rela mati untuk dia, berjuang dari pelosok-pelosok bumi. Mengirimkan e-mail dan pesan ke ribuan manusia lain demi tujuan mendukung beliau dan perjuangannya. Sampai dimana kita tahan? Mereka tahan? Suu Kyi tahan? Saya tidak tahu. Yang pasti militer Myanmar tahan menyiksa beliau puluhan tahu.
Terbersit di pikiran saya suatu pertanyaan: apakah benar kita tidak bisa berbuat apa-apa? Apakah tidak ada satu kekuatan apapun di bumi ini yang bisa melepaskan beliau dan negaranya dari belenggu militerisme fasis yang luar biasa jahat? Bagaimana bisa negara-negara besar yang demokratis membiarkan ini lewat di depan matanya. How could we let this happen under our conscience? Benarkah mustahil? Tampaknya memang sulit. Karena yang bisa dilakukan hanya mengecam via media massa. Puluhan kali negara-negara ASEAN membahas ini dalam arisan mereka; tapi tidak ada hasilnya. Dialog apapun dengan junta militer tampaknya tidak masuk akal bagi mereka. Segala badai politik dan badai sungguhan (protes biksu dan topan Nargis) tidak membuat negara ini terbuka sama sekali, malah makin kejam.
Beliau baru-baru ini didakwa telah melakukan perbuatan ilegal: mengizinkan orang asing memasuki rumahnya. Yang dikatakan rumah sebenarnya rumah tahanan beliau, karena memang beliau dikawal 24 jam tidak boleh ada orang masuk. Jadi, kalaupun beliau dihukum penjara lagi berarti beliau masuk dalam kategori tahanan dalam tahanan, dua kali ditahan, dua kali penjara. Barangkali hanya beliau-lah manusia di bumi ini yang masuk kategori itu. Peraih Nobel dan tetap dipenjara.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Burma tidak punya potensi ekonomi yang menarik buat negara-negara lain. Itu sebabnya membela rakyat Burma bukan pekerjaan menarik juga. Junta militer nampaknya tidak peduli negaranya akan hancur karena dijauhi negara lain.
Tapi Indonesia bisa bantu. Minimal dengan memberi suaka politik untuk rakyat pelarian dari Burma.
Post a Comment