Saya secara pribadi percaya siapa saja bisa jadi tukang beca, jadi pengamen, jadi pengemis, jadi penyanyi, jadi menteri, tukang obat,dokter jiwa, perawat bonsai, atau presiden. Saya percaya yang dibutuhkan hanya kehendak Tuhan sang pemilik alam untuk seseorang atau sekelompok orang jadi apa saja. Saya juga percaya kalau Tuhan mengizinkan seseorang menjadi pemimpin—terlepas pemimpin apapun itu—adalah karena ada ”ACC”dari atas. Tapi saya percaya manusia diberikan Tuhan kesempatan untuk memilih (freedom to opt) untuk apa saja dalam hidupnya, terkecuali freedom untuk memilih lahir dimana, dari keluarga mana, mati kapan, dan terakhir masuk surga atau tidak.
Keputusan yang terakhir pasti hanya milik Tuhan—tidak bisa ditawar. Selain ”hak” yang maha kuasa tadi, saya percaya Tuhan memiliki cara yang sangat unik, misterius, penuh teka-teki, dan mungkin saja mengejutkan dalam membuat rencanaNya berhasil. Apalagi untuk memilih pemimpin jutaan orang. Untuk membuat saya bisa menginap di Hotel Marriott saja Tuhan harus ”memasukkan” saya dulu jadi staff sebuah organisasi internasional. Kalau tidak begini saya tidak ada urusan untuk bisa menginap di ranjang empuk mereka.
Di dunia ini ada banyak orang mati karena berbeda pendapat atau berbeda tujuan, tetapi ada lebih banyak yang mati karena pendapatnya bertujuan sama. Sama-sama ingin satu tujuan sama maksud saya. Karena sama-sama ingin menonton konser Peter Pan, ada 3 orang anak gadis ABG yang mati terinjak dalam konser mereka suatu hari. Nah, berarti sebenarnya karena satu tujuan ini orang bisa saling bunuh, saling hina, saling hajar, dan akhirnya saling bunuh. Karena sama-sama berpikiran membuang sampah lebih cepat, lebih murah adalah dengan ke sungai, makanya banjir datang. Karena bertujuan cepat kaya dengan menebang hutan, erosi turun.
Pilihan berbeda itu penting bukan hanya karena soal variasi, diferensiasi, pelangi keinginan menciptakan nuansa warna semarak. Bukan. Pilihan berbeda juga menciptakan ruang untuk membandingkan, memperdebatkan, memurnikan ideologi, membuatnya benar-benar kontras, bukan abu-abu, bukan agak-agak sama, tetapi benar-benar jauh berbeda. Revolusioner, menantang zaman, membangunkan jiwa yang malas. Saya tidak pernah melihat hal ini di televisi kita, radio kita, surat kabar kita dimunculkan 500 orang lebih manusia yang kita sebut ”wakil rakyat”. Saya tidak pernah melihat presiden kita, kecuali Gus Dur, untuk memperdebatkan isu-isu tabu dan kontroversial, saya tak pernah lihat atau dengar ini. Hidup di Indonesia tidak menantang.
Karena semuanya sama itulah maka negara kita ini membosankan, sampai televisinya juga saling mencontek program masing-masing yang membuat kita jauh lebih hapal mantan-mantan suami Ayu Azhari daripada nama-nama pulau terluar atau kenapa golput itu tidak bijaksana. Kita terbiasa mengekor orang karena memang nuansa kerumuman memang mengasyikkan bagi banyak orang Indonesia. Oleh karenanya tidak ada penemuan apapun, tidak ada inovasi, tidak ada warna, tidak hidup. Begitu-begitu saja.
Hidup beginilah yang membuat kita takut tantangan, takut susah, takut ada persaingan, takut dipermalukan, takut gagal. Coba kalau pemilu ini ada 5 calon presiden yang sangat berbeda ideologinya, pasti anak muda kita lebih pintar. Coba kalau pemilu kita tidak diisi 4L (Lo lagi lo lagi), pasti kita lebih semangat membaca koran, mengikuti diskusi, bahkan menyediakan uang kita mendukung calon, bukannya membayar dan menyuapnya.
Memang pemilu yang dibuat berkali-kali itu melelahkan, mahal, dan repot.. Tapi apakah esensi pemilu hanya untuk mengganti orang yang disebut ”presiden”. Kalau begitu, tak ada bedanya dengan mengganti kepala rumah sakit atau satpam di rumah masing-masing, karena memang jangan-jangan esensi pemilu yang kita perjuangkan itu hanya ”melanjutkan” jabatan saja. Hanya mengisi kursi kosong, bukan melanjutkan dengan perubahan, atau dengan cepat bertobat dan melakukan perubahan.
Saya bukan fans-nya siapa-siapa, karena saya sih pinginnya Yohannes Surya atau Anies Baswedan yang jadi Presiden. Bagi saya, pak Yudhoyono adalah calon yang relatif bersih dari dosa politik lama atau dosa kemanusiaan, jadi kemungkinan besar saya tetap akan memilihi beliau. Tetapi, saya takut kalau memang ada orang yang serius berharap ”lebih baik pemilu satu putaran saja” karena hanya ”melanjutkan”. Benar-benar memalukan bagi saya. Saya kira bukan begini cara mencerdaskan masyarakat, anak-anak muda. Kita diajarkan oleh Bapak dan Ibu bangsa untuk melawan penjajahan, bukan hanya penjajahan fisik tetapi ide. Karena memang perasaan nyaman dan tidak mau berubah adalah musuh peradaban.
Janganlah kita malah melanjutkan bahkan setuju dengan cara begini. Sekali lagi kita dipertontonkan tingkah laku partai politik kita yang harus bertobat dari dosa lama mereka, memperbodoh rakyat. Harusnya partai politik itu mencerdaskan masyarakat dengan ide-ide perubahan dan ideologi yang tajam dan fundamental, bukan seperti ini. Siapapun mereka yang setuju dengan ”mengusahakan pemilu satu putaran saja” harus dilawan. Karena bukan hanya ini memperbodoh kita tetapi musuh demokrasi, musuh akal sehat. Saya tak mau tinggal di negara yang malu menghabiskan jutaan duitnya untuk pemilu yang tajam dan menggetarkan daripada sepakat pemilu hanya sekadar ”melanjutkan” mengisi kursi kosong atau jangan-jangan takut kursinya kosong.
1 comment:
Aku tadi nonton diskusi di Metro TV dengan salah satu nara sumber Denny JA yang memiliki gagasan pemilu satu putaran. Alasannya terdengar konyol,termasuk soal penghematan dan pemerintahan yang kuat. Denny juga tidak berani menyebutkan sumber dana untuk membuat iklan. Rasanya sulit dipercaya jika gerakan yang digagas Denny tidak mendapat restu dan mungkin sumber dana dari kubu SBY-Boediono. Saya semakin yakin dan bertekad untuk mengatakan tidak pada kandidat yang banyak bermain curang.
Post a Comment