Tetrisku sayang
Saya pikir jingle itu hanya iklan aja, eh ternyata potongan syair dari lagu yang memang ada penyanyinya. Terkenal lagi. Saya ingat waktu kecil dulu, gak pernah dikasih orangtua mainan, beneran loh, gak pernah. Satu-satunya mainan yang pernah dikasih (itupun maksa) hanya game-watch tetris waktu saya kelas 5 SD. Pas main pertama kali, saya merasa orang paling bahagia di dunia, semua orang pasti melihat-lihat saja, terkagum. Waktu itu jarang yang punya mainan secanggih saya. Waktu megang dan main tetris itu, seluruh dunia hilang di belakang saya. Pagi, siang, dan malam (asal tidak di sekolah), yang ada dalam kepala saya hanya game-watch saya. Betapa saya rindu, betapa saya sayang, betapa saya terikat dengannya. Apapun kata orang, diajak kemanapun saya, barang tadi pasti saya bawa.
Saya juga teringat waktu SMP bersurat-suratan dengan teman yang tinggalnya di luar negeri. Saya tak punya teman berusrat-suratan di dalam negeri, kalaupun ada kakak sepupu, yang nulis suratnya 80% ibu saya. Saya hanya bantu ngeposin dan nempelin prangko. Surat dari teman saya di Australia tadi kalau datang ke rumah, langsung dibawa ke kamar, tutup semua pintu, kalau bisa langsung dibalas. Sungguh menggemaskan kalau ternyata pos Indonesia lamban mengirimkan surat kesana dan mengantarkan balasannya ke saya. Surat-suratan dan mainan itu pribadi sekali sifatnya waktu itu, sangat saya sayangi, bahkan banyak yang masih saya simpan sampai hari ini.
Dunia serasa nyata dengan internet
Hari ini kita tinggal dalam dunia yang luar biasa canggih, tidak ada satu tempatpun di atas muka bumi ini yang bisa sembunyi dari jangkauan satelit, dimanapun kita berada kita bisa onlie...online, entah dengan handphone, entah dengan laptop kita. Entah hanya bertelepon, chatting, atau facebook-an ria. Punya facebook berarti mengikuti zaman, tak punya facebook bukan hanya kampungan, tetapi memang benar-benar kampungan.
Dalam dunia virtual massal ini, kita bukan hanya bisa mendapat informasi secepat kilat darimana saja, tapi juga bisa mengirimkan informasi kemana saja, dimana saja. Kita dibanjiri dengan informasi membabibuta yang kita tidak bisa hentikan atau matikan. Tidak ada originalitas dan kemutlakan dalam kebenaran. Semua bisa benar, semua bisa masuk akal. Kita sulit mengetahui mana ide original, mana contekan. Mana bikinan om Hans di Jerman, mana bikinan Denni murid SMA yang diberi tugas mengarang. Semua bisa dapat informasi darimana saja. Tanpa tau itu memang dia yang bikin atau bukan.
Dekade ini dekadenya Blackberry
Blackberry dan teman-temannya yang dirasupi facebook dan twitter lebih-lebih lagi. Semua orang bisa jadi warnet berjalan. Dimana saja di tengah umum kita bisa mengirimkan: JOHN: ”lagi pingin makan saksang” atau apalah. Ini bisa dilihat semua temannya. Dunia yang katanya makin canggih membuat manusia-manusianya makin senang sendirian. Jangan-jangan kita semakin lebih senang duduk di kamar, mandangin 700 teman facebook kita daripada bertemu 20 orang aslinya. Kita percaya barisan kalimat yang tertulis di wall kita memang asli bikinan fans kita, teman satu SMP kita, atau Manohara...
Facebook adalah ibarat surat-suratan saya zaman dulu, dan henponnya ibarat game-watch tetrisnya. Tahun ini dan tahun depan, Blackberry menargetkan 400 ribu pelanggan baru, angka ini salah satu yang terbesar di dunia, dan facebook membuat kita semakin gila dengan blackberry atau henpon lainnya yang bisa membuat ekonomi bergerak. Hendpon-henpon model bajakan juga memasang keasyikan serupa. Jaminan mutu sebuah produk sekarang ini: bisa main facebook enggak?
Jangan jangan memang Blackberry itu laku bukan karena fungsinya yang alamak banyaknya, tapi hanya satu: bisa buka facebook dengan cepat. Setahu saya, mereka yang perlu mobile phone yang bisa push e-mail adalah orang yang sibuknya luar biasa dan agendanya padat, sampai-sampai buka e-mailpun harus di toilet. Sekarang justru beda, anak SMP asal bapaknya bisa bayar 5 juta, bisa dapat Blackberry Storm, kalau tak sanggup Nokie E63 saja. Semakin canggih zaman, semakin kesepiannya kita. Semakin canggihnya alat-alat yang kita punya, semakin jauhlah kita dari menikmati keramaian dengan sesama.
Yang facebook gak bisa bikin
Cahaya matahari, kicauan burung, gerhana bulan, hujan gerimis bisa direkam semua. Tertawaan ponakan baru, senyuman kakek umur 91 tahun, pernikahan bekas pacar, semuanya bisa dilihat di wallphotos dalam facebook. Apakah memang dunia kita akan kayak begitu sepuluh duapuluh tahun lagi? Beruntunglah kita yang masih bisa merasakan dunia, menikmati semuanya sebelum si Zuckerber ini ada, sebelum facebook lahir. Saya selalu berterimakasih hidup di zaman ini, dimana semua ketanpa-batasan bisa saya nikmati. Sebelum henpon ada, sebelum dunia virtual ada. Tapi pelan-pelan di sambil jongkok saya berpikir: ”pantesan belum nikah sampe sekarang, pacarannya di facebook melulu”. Facebook kan gak bisa ngajak dia main tetris bareng, makan malam bareng, tertawa sampe nangis. Oh, ia yah, baru saya sadar.......
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment