Saat itu malam Natal, 24 Desember tahun 2000. Di tengah kebaktian di salah satu gereja di Jakarta, saya dan ratusan orang dalamnya terkaget-kaget karena tiba-tiba muncul pendeta di atas mimbar, sambil memegang mikrofon mengumumkan: Saya minta semua tenang, satu persatu angkat barangnya, keluar dengan tertib, langsung ke rumah, jangan berkeliaran di jalan. Sampai di rumah istirahat dengan tenang, acara kita hentikan sampai disini. Waktu itu pukul 10 malam kurang, acara memang akan sebentar lagi habis, tapi pengumuman yang entah karena apa itu, membuat semua orang heran. Ternyata ada gereja lain 500 meter dari tempat kami duduk sudah dibom beberapa menit sebelumnya.
Sepanjang malam sampai pagi jam 3 kami sekeluarga menonton TV, mendengarkan radio, menelepon keluarga. Ada dua gereja kami yang diteror bom mulai malam itu. Satu di Medan, satu di Batam. Entah kenapa orang tetap mau datang kebaktian walaupun tadi malam gedung gereja mereka sudah dibom. Ketakutan dikalahkan dengan keinginan untuk bersembahyang karena ada sekelompok orang yang katanya bersembahyang dengan membunuh ratusan orang dan menakutkan ribuan orang yang lain.
Teror memang tidak kelihatan. Teror tidak punya asap, bau, warna, atau rupa. Teror ada dalam kepala. Ide membuat teror ada di kepala, dan ketakutan akan teror juga hanya ada di kepala. Bayangkan anda memasuki sebuah hutan dan ada bacaan: “hati-hati ada 3 harimau liar di hutan ini; kemarin 2 anak mati dimangsanya”. Anda tak perlu lihat harimaunya, pasti ketakutan masuk ke hutan ini. Siapapun teman anda, dibayar berapapun, anda pasti akan mikir-mikir masuk ke hutan itu. Bukan takut harimaunya, tapi korbannya.
Saya bukan korban aksi terorisme secara fisik, bukan juga memiliki keluarga korban terorisme secara fisik. Saya dan jutaan manusia di Indonesia adalah korban teror secara sosial. Terorisme bukan hanya menghilangkan nyawa manusia, dia juga menghilangkan arti hakikat dan martabat manusia. Hak terutama dalam hidup manusia yang dikaruniakan Tuhan adalah hak hidup dan merdeka. Dan oleh karena aksi mereka, jutaan manusia tidak bisa merdeka, hidupnya pun dipenuhi ketakutan. Ribuan manusia bahkan tidak nyaman di negerinya sendiri. Ribuan lainnya lari dari negeri ini. Semua usaha pemerintah dan warga negara untuk mengembalikan wajah negeri kita ini selama 4 tahun belakangan hilang sudah. Untuk berjalan-jalan di mal saja kita ketakutan seumpama sedang berjalan di tengah pasar di Tikrit atau Kabul. You wish you do not live here.
Penteror ini hendak menghukum manusia lain dengan menciptakan ketakutan dan membunuh nyawa manusia. Dia bukan hanya sudah membunuh manusia, tapi menghancurkan harga diri sebuah bangsa. Mereka mencoba menjadi ”tuhan” menentukan nasib lawannya. Menjadi tuhan dengan mengambil nyawa orang. Oleh karena itu, dengan alasan apapun tidak bisa dimaafkan. Secara manusia tidak bisa. Maafkan saya, saya tidak bisa.
Sepanjang malam sampai pagi jam 3 kami sekeluarga menonton TV, mendengarkan radio, menelepon keluarga. Ada dua gereja kami yang diteror bom mulai malam itu. Satu di Medan, satu di Batam. Entah kenapa orang tetap mau datang kebaktian walaupun tadi malam gedung gereja mereka sudah dibom. Ketakutan dikalahkan dengan keinginan untuk bersembahyang karena ada sekelompok orang yang katanya bersembahyang dengan membunuh ratusan orang dan menakutkan ribuan orang yang lain.
Teror memang tidak kelihatan. Teror tidak punya asap, bau, warna, atau rupa. Teror ada dalam kepala. Ide membuat teror ada di kepala, dan ketakutan akan teror juga hanya ada di kepala. Bayangkan anda memasuki sebuah hutan dan ada bacaan: “hati-hati ada 3 harimau liar di hutan ini; kemarin 2 anak mati dimangsanya”. Anda tak perlu lihat harimaunya, pasti ketakutan masuk ke hutan ini. Siapapun teman anda, dibayar berapapun, anda pasti akan mikir-mikir masuk ke hutan itu. Bukan takut harimaunya, tapi korbannya.
Saya bukan korban aksi terorisme secara fisik, bukan juga memiliki keluarga korban terorisme secara fisik. Saya dan jutaan manusia di Indonesia adalah korban teror secara sosial. Terorisme bukan hanya menghilangkan nyawa manusia, dia juga menghilangkan arti hakikat dan martabat manusia. Hak terutama dalam hidup manusia yang dikaruniakan Tuhan adalah hak hidup dan merdeka. Dan oleh karena aksi mereka, jutaan manusia tidak bisa merdeka, hidupnya pun dipenuhi ketakutan. Ribuan manusia bahkan tidak nyaman di negerinya sendiri. Ribuan lainnya lari dari negeri ini. Semua usaha pemerintah dan warga negara untuk mengembalikan wajah negeri kita ini selama 4 tahun belakangan hilang sudah. Untuk berjalan-jalan di mal saja kita ketakutan seumpama sedang berjalan di tengah pasar di Tikrit atau Kabul. You wish you do not live here.
Penteror ini hendak menghukum manusia lain dengan menciptakan ketakutan dan membunuh nyawa manusia. Dia bukan hanya sudah membunuh manusia, tapi menghancurkan harga diri sebuah bangsa. Mereka mencoba menjadi ”tuhan” menentukan nasib lawannya. Menjadi tuhan dengan mengambil nyawa orang. Oleh karena itu, dengan alasan apapun tidak bisa dimaafkan. Secara manusia tidak bisa. Maafkan saya, saya tidak bisa.
No comments:
Post a Comment