Wednesday, August 12, 2009

To be an Indonesian means you are in one village with terrorists

Mendengar teroris yang mati tertembak di Temanggung kemarin bukan Nurdin Top, saya kecewa setengah mati, kaget, dan sedikit khawatir. Ibaratnya seperti mendengar salah satu teman anda yang ngomong begini: wah, ular yang mati kemarin bukan ular Mamba hitam, cuman ular pohon biasa. Sama sama beracun dan bisa bikin mati, tapi yang saya mau dimatikan itu yah ular mamba, bukan ular pohon; jelas karena mamba lebih menyeramkan dan mematikan.


Tidak tahu apa yang ada di kepala Nurdin Top melihat betapa gagah beraninya Ibrohim yang bersedia mati tertembak di rumah kosong di Temanggung itu. Saya bisa bayangkan betapa air mata Nurdin dengan rasa bangga membasahi pipinya. Dia bangga karena anak buahnya, muridnya (barangkali) bersedia mati sendirian, tidak bersedia mati dihukum pengadilan. Saya bisa bayangkan di kepalanya Ibrohim juga mirip-miriplah. Betapa perjuangan saya yang menahan serangan peluru mahadahsyat dari polisi menunjukkan saya tak gampang menyerah. Betapa saya akan menikmati upahnya sebentar lagi.


Saya tak mau bicara kaidah atau mazhab agam, atau persoalan hermeneutika yang berbeda. Sejujurnya saya tak takut mati. Sesungguhnya mati di manapun saya siap, saya yakin, saya kuat. Rasa takut saya berbeda memandang bersedia mati dimana saja kapan saja, dan mati oleh karena teroris macam begini. Maksudnya macam anak buah Nurdin ini. Mereka bersedia mati bukan hanya membakar orang asing, tapi bangsanya sendiri. Orang-orang Indonesia (kebanyakan) yang dibunuh teroris ini bukan bos bank, bukan pengutang BLBI, bukan keturunan Suharto yang mahakaya, bukan juga Aidit atau Kartosuwiryo, bukan penjahat, bukan bintang sinetron, bukan Manohara atau asistennya Mbah Surip yang kaya, bukan siapa-siapa; hanya orang biasa. Yang tiap hari berjuang, berdoa, menangis, berkeringat, berjejelan dengan semua masalah hidup, yang tidak tahu apakah masuk surga atau tidak sangkin tidak ada apa-apanya. Mereka yang berteriak karena ketidakadilan pada Tuhan, yang ke Gereja atau Masjid berdoa dan yang hanya bisa segitu saja; kenapa mereka yang ikut mati? Mereka yang ”melayani” tuhan ini membunuhi satu demi satu orang-orang yang katanya mereka ”bela”. ”Perjuangan mulia” membela kemanusiaan dan melawan penjajah modern (negara makmur nan berkuasa) demi orang susah, justru mereka yang menambah susah.


Sampai kapanpun, dimanapun saya tidak bisa percaya apa yang sedang perbuat ini sungguh-sungguh membuat Tuhan bangga. Mereka diberi kesempatan hidup beberapa lama melihat betapa hancurnya keluarga dan masa depan anak-anak yang ditinggalkan korban-korban itu. Betapa jutaan manusia takut dengan Indonesia. Bahkan jangan-jangan ada orang Indonesia yang malu menyebut negaranya dari Indonesia di luar negeri. Tapi mereka tidak peduli. Teroris ini punya penyakit autis yang luar biasa parah. Seolah-olah dunia bisa diatur dengan cara begitu.


Saat ini, to be an Indonesian means you are in one village with terrorists, and sorry to say, bagi saya mereka ini, yang mati demi “perjuangan” melawan angkara murka, bukan lagi manusia. Mereka dan semua perbuatannya harus dilawan. Harus dihabiskan sampai ke akar-akarnya.

No comments:

Blog Archive