Monday, September 28, 2009

“Disiksa dulu, baru kita sama”


“Saya takut setan, bang, tapi saya lebih takut sama kakak kelas saya”.


Saya ingat pernah punya teman di Bandung dulu yang ngomong kalimat di atas. Logikanya, kalau setan dibacakan ayat-ayat suci terus berdoa, dia lari tak usah ditembak. Tapi kalau kakak kelas di perguruan tingginya dia itu, bisa datang dan pergi di tengah malam sambil menghadiahkan bogem mentah ke semua adik se-baraknya. Tanpa ampun, tak perlu minta maaf, dan jangan-jangan karena memang iseng. Setan aja tak pernah iseng. Setan selalu serius ngerjain kita. Nah, kakak-kakak kelas macam tadi jarang serius, seringnya iseng, karena memang gak ada kerjaan.


Sebenarnya saya takut nulis ini, karena takut menyindir banyak orang yang memang senang ”menyiksa” orang demi ”tujuan mulia” kita. Saya juga jangan-jangan masuk disini. Bukan kita yang menghantam, teman kita, tapi kita supporternya. Kita senang ada junior, bawahan, atau adik kelas, atau apalah istilahnya yang hormat dan santun melihat alis kita. Sehingga tak perlu menjerit pun kita berharap adik-adik ini minggir kalau kita lewat.

Bisikan teman saya: dari Surga, Bapak Pendidikan kita, Suwardi Suryaningrat menangis melihat kita. Bukannya bikin prestasi menang debat apa gitu dari Bogor sana, eh malah jadi bahan berita BUSER.


Schadenfreude

Dalam dunia psikologi ada istilah “Schadenfreude”, yang diambil dari bahasa Jerman, Schaden, atau "adversity, harm", dan Freude, "joy". Kalau di-Indonesiakan kira-kira berarti: “merasakan kepuasan dan kebahagian melihat orang lain tersiksa atau merasakan sakit”. Ada rasa puas dan lepas ketika melihat orang tertentu merasakan sakit, terluka, tersiksa. Entah karena dihajar orang lain, atau jatuh ke parit berdarah-darah. Lihat saja semua tontonan tv, film, situs berita. Semuanya senang menunjukkan darah-darah dan penyiksaan. Tak heran ada anggota DPRD yang mati jantungan karena dipukulin, tawuran sekolah dan kampus udah jadi berita super biasa. Justru kalau gak pernag tawuran diejek benconglah.


Parahnya lagi, sebagai manusia kita tidak bisa menerima orang asing begitu saja. Siapapun yang ingin masuk ke dalam lingkungan kita harus tahu bagaimana rasanya kita pertama sekali dulu mencoba masuk. Lubang dan kawat duri yang sama harus dipasang untuk mereka, supaya sama-sama pernah luka, pernah berdarah, pernah menangis, pernah ingin melawan tapi mengalah. Ada kepuasan kalau orang baru yang masuk ini disiksa juga seperti kita. Puaslah hati, kau boleh masuk.


Bedanya sekolah dan kandang ayam

Kalau kita punya cita-cita masuk geng motor, atau geng golok biru, kita harus sadar betul (dan memang umumnya begitu) bahwa semua anggota geng itu pakar balap-balapan, hantam-hantaman, dan golok-menggolok. Tidak diragukan tujuan kita masuk ke geng itu pun tidak jauh-jauh ingin jago balap dan jago nonjok. Cita-cita luhur masuk geng itu adalah menjadi jagoan golok nomor satu se-Jakarta Barat, atau jawara motor se-Ciamis. Gak ada tujuan orang masuk geng motor untuk dapat selembar ijazah diploma 3. Nah, lucunya, inisiasi di sekolah-sekolah kita ini mengherankan. Mana ada ilmu hook kanan, jab kiri dipakai kalau jadi ajudan kepala dinas, ajudan bupati, atau camat, atau ahli sandi dipakai? Jauh banget hubungan antara sanggup melompat 2 meter, tahan dipukul dada 100 kali dengan kepakaran membuat laporan intelijen. Dimana hubungannya?


Seekor ayam jago dimasukkan ke dalam kandang berisi 10 ayam jago lainnya memang harus siap berantam karena memang siapa yang kuat dia yang bisa dapat jagung paling banyak. Kekuatan lari, terjang, cakar, banting itu perlu, survival soalnya. Masalah hidup mati. Nah, emang di STPDN atau Sekolah Sandi Negara, atau Sekolah Transportasi macam-macam itu perlu jago nyakar dan nendang? Satu-satunya alasan yang masuk akal ada yang mati di sana adalah kita senang menyiksa karena memang penyiksaan itu penting sebagai status seseorang pantas jadi teman kita.


Pecat Semua!

Apapun namanya, kalau memang kebobolan kayak begini, ada satu muridnya meninggal tiba-tiba, sekolah pasti bela diri. Cari tameng paling jitu, dan buat alasan macam-macam. Kalau bisa malaikat yang salah. Tidak akan mungkin ada yang mau ngaku salah, apalagi mental birokrat kita. Coba, apa pernah STPDN meminta maaf resmi kepada semua muridnya bahwa mereka dengan sadar tahu bahwa ada penyiksaan di sekolahnya. Mana ada. Yang ada minta maaf ke orangtua murid yang mati tadi: ”maaf, anak Ibu sakit” atau ”maaf, karena dia terpeleset dan jatuh”. Polisi dan pengadilan yang menelanjangi satu-satu dosa kakak kelasnya, baru se-Indonesia tahu sebenarnya ada apa.


Kepala sekolah (kepala perguruan tinggi yang anggarannya dibayarin pajak warga negara Indonesia) harus tahu apa yang pernah, sedang, dan sudah terjadi di sekolahnya. Terus, benar-benar memecat siapapun yang mengulangi hobinya menyiksa adik kelas. Kalau ada guru yang ikut, ikut pecat juga. Ratusan miliar juta uang orang-orang kecil dari kampung dan dari kota, sepeser demi sepeser dari pajak tanah, pajak cukai rokok, pajak macam-macam masak dipakai untuk membayar abdi negara membunuhi teman-temannya?. Ngerinya lagi, semua uang yang dihabiskan membayar gaji dan kebutuhan sekolah calon-calon abdi negara itu dipakai lagi untuk menutupi dosa ratusan alumni dari tahun ke tahun. Pantaslah Tuhan marah dengan kita. Pantaslah kita selalu kecewa dengan mutu abdi negara kita. Wong di sekolah aja cuman untuk menyiksa dan ketakutan disiksa. Kapan baca bukunya? Kapan diskusinya? Kapan belajarnya? Apa ada sekolah macam begini di negara lain? Kalau memang ada, ternyata kita gak kalah juga......

No comments:

Blog Archive