Dewan untuk Rakyat
Memiliki sebuah lembaga perwakilan rakyat itu adalah tanda sebuah negara masuk dalam kategori negara demokrasi. Tapi, yang lebih penting adalah memiliki sebuah lembaga perwakilan rakyat yang benar-benar dipilih rakyat dan bersuara rakyat, bukan suara pemerintah (penguasa). Untuk kategori ini Republik Rakyat Cina, dan hampir semua negara satu partai tidak termasuk dalam kategori negara demokratis. Sebuah lembaga perwakilan rakyat bukan hanya gedung, pejabat-pejabat, dan semua rapatnya. Yang lebih penting dari ini semua, lembaga itu harus benar-benar berteriak untuk rakyat dan merasakan denyut penderitaan mereka. Lembaga perwakilan rakyat tanpa esensi ini tidak ada artinya, tak peduli seberapa banyak pun peraturan yang bisa dibuatnya. Kita perlu memberi catatan dan harapan bagi semua anggota parlemen baru kita, baik di DPR maupun MPR karena esensi mereka adalah suara kita, berteriak untuk kita.
Dewan rakyat adalah alarm demokrasi
Di dalam sebuah mesin yang baik, apakah itu telepon selular atau tubuh manusia, harus memiliki sebuah sistem alarm atau peringatan yang baik. Sistem inilah yang mengingatkan kita untuk merasakan lapar ketilka energi hampir habis sehingga kita tidak semaput, atau telepon kita sudah hampir mati dan harus segera diisi bila masih mau online. Sistem ini memperingatkan semuanya dan kadang kala sangat mengganggu karena akan berteriak tak peduli dimanapun, kapanpun. Penulis ingin menganalogikan bahwa dewan yang kita inginkan adalah dewan yang persis seperti alarm tadi. Alarm harus berbunyi sebelum kita pingsan di tengah jalan dan jatuh, sebelum semuanya mati.
Di negara kita, sistem oposisi itu tidak dikenal dalam praktik atau teori ketatanegaraan. Yang kita kenal adalah checks and balances, seimbang dalam mengawasi, baik presiden maupun parlemennya. Checks and balances adalah sistem alarm yang konstitusional bagi setiap anggota parlemen untuk mengawasi pemerintahan. Parlemen kita harus menjadi alarm bagi seluruh elemen negara supaya benar-benar seimbang dalam mengawasi. Dia berteriak bilamana memang perlu, dan diam kalau memang waktunya diam. Dengan demikian demokrasi kita bisa jalan baik, pemerintahan kita benar-benar bekerja untuk rakyatnya, baik presiden maupun parlemennya.
Rakyat harus siap jadi alarm
Sayangnya, semua sistem alarm bisa sakit, atau mati. Rasa lapar bisa tumpul dengan obat, dan alarm ponsel bisa tidak kedengaran bila diset-silent, nada diam. Sekarang ini, hampir semua partai politik yang ada di parlemen adalah rekan koalisi pemerintah, atau partai pemerintah. Kalaupun ada satu yang diharapkan berbeda oleh mantan ketua umumnya, partai Golkar, tampaknya tidak akan kelihatan ke arah sana. Hampir semua partai yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat kita mendekat (atau didekati) oleh partai yang berkuasa. Partai yang sudah dekat dengan penguasa adalah sama saja dengan partai penguasa, sama-sama tidak akan berteriak kepada penguasa.
Manuver dan atraksi apapun yang dilakukan oleh satu atau dua orang anggota DPR kita akan dianggap suara pribadi, bukan partai. Teriakan alarm-alarm kecil demokrasi kita akan dianggap cubitan kecil tak berarti, hanya kenakalan anggota. Kalau ini yang akan terjadi, dan tampaknya memang ke arah sana, kita harus siap-siap kecewa. Esensi dari kita memilih sistem multipartai adalah supaya jangan ada monopoli kekuasaan, tapi justru ini yang sudah terjadi. Tapi apakah kita harus kecewa?
Oleh karena itu semua eleman rakyat, baik lembaga sosial, kampus, atau masyarakat pers, harus siap dan rajin menjadi alarm. Harus ada yang berteriak supaya kita tetap waspada, hati-hati dan tidak mati. Harus ada yang berteriak dari ladang, gunung, lembah dan pantai bagi rakyatnya yang lain. Pers, kaum intelektual, dan lembaga sosial harus mampu menunjukkan kepada penguasa dan pendukungnya bahwa kita masih punya alarm yang lain, yang akan menjadi kekuatan checks and balances, yang bisa berteriak menggantikan mereka yang sengaja tidak mau. Semoga nurani kita diberkati Tuhan dengan semangat perjuangan yang bersedia menjadi alarm bagi bangsa kita, bagi mereka yang sudah memilih hanya bersedia menjadi aksesoris demokrasi, yang takut jadi alarm karena tidak dapat kekuasaan.
(*Penulis adalah pengamat sosial dan pembangunan,
sekarang bekerja di Aceh untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Memiliki sebuah lembaga perwakilan rakyat itu adalah tanda sebuah negara masuk dalam kategori negara demokrasi. Tapi, yang lebih penting adalah memiliki sebuah lembaga perwakilan rakyat yang benar-benar dipilih rakyat dan bersuara rakyat, bukan suara pemerintah (penguasa). Untuk kategori ini Republik Rakyat Cina, dan hampir semua negara satu partai tidak termasuk dalam kategori negara demokratis. Sebuah lembaga perwakilan rakyat bukan hanya gedung, pejabat-pejabat, dan semua rapatnya. Yang lebih penting dari ini semua, lembaga itu harus benar-benar berteriak untuk rakyat dan merasakan denyut penderitaan mereka. Lembaga perwakilan rakyat tanpa esensi ini tidak ada artinya, tak peduli seberapa banyak pun peraturan yang bisa dibuatnya. Kita perlu memberi catatan dan harapan bagi semua anggota parlemen baru kita, baik di DPR maupun MPR karena esensi mereka adalah suara kita, berteriak untuk kita.
Dewan rakyat adalah alarm demokrasi
Di dalam sebuah mesin yang baik, apakah itu telepon selular atau tubuh manusia, harus memiliki sebuah sistem alarm atau peringatan yang baik. Sistem inilah yang mengingatkan kita untuk merasakan lapar ketilka energi hampir habis sehingga kita tidak semaput, atau telepon kita sudah hampir mati dan harus segera diisi bila masih mau online. Sistem ini memperingatkan semuanya dan kadang kala sangat mengganggu karena akan berteriak tak peduli dimanapun, kapanpun. Penulis ingin menganalogikan bahwa dewan yang kita inginkan adalah dewan yang persis seperti alarm tadi. Alarm harus berbunyi sebelum kita pingsan di tengah jalan dan jatuh, sebelum semuanya mati.
Di negara kita, sistem oposisi itu tidak dikenal dalam praktik atau teori ketatanegaraan. Yang kita kenal adalah checks and balances, seimbang dalam mengawasi, baik presiden maupun parlemennya. Checks and balances adalah sistem alarm yang konstitusional bagi setiap anggota parlemen untuk mengawasi pemerintahan. Parlemen kita harus menjadi alarm bagi seluruh elemen negara supaya benar-benar seimbang dalam mengawasi. Dia berteriak bilamana memang perlu, dan diam kalau memang waktunya diam. Dengan demikian demokrasi kita bisa jalan baik, pemerintahan kita benar-benar bekerja untuk rakyatnya, baik presiden maupun parlemennya.
Rakyat harus siap jadi alarm
Sayangnya, semua sistem alarm bisa sakit, atau mati. Rasa lapar bisa tumpul dengan obat, dan alarm ponsel bisa tidak kedengaran bila diset-silent, nada diam. Sekarang ini, hampir semua partai politik yang ada di parlemen adalah rekan koalisi pemerintah, atau partai pemerintah. Kalaupun ada satu yang diharapkan berbeda oleh mantan ketua umumnya, partai Golkar, tampaknya tidak akan kelihatan ke arah sana. Hampir semua partai yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat kita mendekat (atau didekati) oleh partai yang berkuasa. Partai yang sudah dekat dengan penguasa adalah sama saja dengan partai penguasa, sama-sama tidak akan berteriak kepada penguasa.
Manuver dan atraksi apapun yang dilakukan oleh satu atau dua orang anggota DPR kita akan dianggap suara pribadi, bukan partai. Teriakan alarm-alarm kecil demokrasi kita akan dianggap cubitan kecil tak berarti, hanya kenakalan anggota. Kalau ini yang akan terjadi, dan tampaknya memang ke arah sana, kita harus siap-siap kecewa. Esensi dari kita memilih sistem multipartai adalah supaya jangan ada monopoli kekuasaan, tapi justru ini yang sudah terjadi. Tapi apakah kita harus kecewa?
Oleh karena itu semua eleman rakyat, baik lembaga sosial, kampus, atau masyarakat pers, harus siap dan rajin menjadi alarm. Harus ada yang berteriak supaya kita tetap waspada, hati-hati dan tidak mati. Harus ada yang berteriak dari ladang, gunung, lembah dan pantai bagi rakyatnya yang lain. Pers, kaum intelektual, dan lembaga sosial harus mampu menunjukkan kepada penguasa dan pendukungnya bahwa kita masih punya alarm yang lain, yang akan menjadi kekuatan checks and balances, yang bisa berteriak menggantikan mereka yang sengaja tidak mau. Semoga nurani kita diberkati Tuhan dengan semangat perjuangan yang bersedia menjadi alarm bagi bangsa kita, bagi mereka yang sudah memilih hanya bersedia menjadi aksesoris demokrasi, yang takut jadi alarm karena tidak dapat kekuasaan.
(*Penulis adalah pengamat sosial dan pembangunan,
sekarang bekerja di Aceh untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa)
No comments:
Post a Comment