Friday, September 04, 2009

Terbiasa dengan bencana: Gempa Bumi itu biasa!


Saya ingat pertama sekali merasakan gempa bumi itu pada suatu hari Kamis, kira-kira jam setengah sebelas pagi, di suatu kelas IPA. Guru berdiri di depan, saya di belakang pusing dengan teman-teman yang lain karena guru kami kelihatan miring ke kanan ke kiri. Oh ya, waktu itu saya kelas 3 SD dan kami berada di lantai 3. Lumayan tinggi dan goyangannya lumayan lama. Entah kenapa orang-orang menjerit. Terutama guru dan pegawai sekolah. Untunglah guru kami tidak stress lalu meloncat meninggalkan kami; beliau menarik satu demi satu turun ke lantai dasar. Ramai-ramai sampai akhirnya seisi kelas habis turun ke bawah. Ini terjadi di tengah kota Medan-Sumatera Utara.


Pengalaman kedua waktu saya kelas 5 SD, dan kali ini waktu kami tertidur di rumah karena kejadiannya jam 11 malam. Kalaupun kami terbangun karena memang teriakan tetangga yang berdesibel kencang membangunkan satu gang,. Bukan hanya kamar saya. Kami semua anak-anak lari ke kamar orangtua. Berlutut berdoa, ketakutan setengah mati, karena memang sangat kuat dan lumayan lama.

Pengalaman ketiga terjadi waktu saya kelas 6 SD dan kejadiannya di Tarutung, kota di Tapanuli Utara. Kali ini gempa tektoniknya tidak sekencang yang dulu, dan orang-orang kebanyakan menganggapnya biasa saja. Sedikit sekali yang panik, hanya senyam senyum, bicara sebentar, mengapresiasi kejadian alam barusan, lalu setengah jam kemudian semua lupa apa yang terjadi.

Melihat gempa sebagai pengalaman sehari-hari Di Indonnesia, gempa itu bisa terasa ratusan kali setahun. Kira-kira sama seperti melihat tayangan gosiplah, akan ada siaran pagi, siang, sore, lalu malam; cuma memang tidak setiap hari kita rasakan. Bagian Pulau Sumatera hari Kamis, Jawa hari Minggu, lalu Papua kari Jumat. Intinya memang karena ada beberapa sabuk gunung api yang singgah di negara kita, hal ini bukan pilihan. Harus kita rasakan, suka atau tidak suka. Gempa bumi tidak membunuh, hanya kalau kita sedang berada di bawah pohon ketika gempa menggoyang tanah, lalu pohon jatuh menimpa kepala dan perut kita, bisa mati akibatnya. Nah, oleh karena itu, kita yang memang dikaruniakan jatah gempa lebih banyak dari Suriname ini, harus memandang gempa dengan benar, terbiasa dan mempersiapkan diri sebelum dan pada saat gempa. Tak usahlah saya kasih tau cara-caranya, karena semua orang bisa baca dimana saja sekarang ini. Cuma memang yang diperlukan untuk masyarakat terbiasa dengan gempa dan efek kegempaan, adalah dari sejak dini masyarakat muda diajarkan tentang hal ini dengan benar. Alam negeri kita yang memang rawan bencana tak bisa kita hindari, dimanapun kita tinggal. Pemahaman anak-anak bangsa tentang bencana perlu diluruskan.

Bencana itu bagian dari manusia dan kehidupannya, tak terduga, tak terhentikan, dan tidak punya lampu, kaca spion, apalagi sirine. Oleh karena itu, manusia mengejar segala cara, dengan akal budi, iptek dan perkakas komunikasi dan superkomputer paling canggih untuk bisa mempelajarinya. Kita bisa mengurangi jumlah korban, dengan mengerti apa yang harus dilakukan ketika bencana terjadi, dan membuat perangkat rumah tangga dan kehidupan yang memang ”sadar” bencana, siap banting ketika bencana datang.
Untuk itu, pendidikan bencana harus diajarkan kepada siswa kita, utamanya mereka yang tinggal di pesisir pantai besar, puncak gunung dan kaki gunung berapi, rawa gambut, dan daerah miring kritis. Ini daerah paling sering menerima bencana.

Pelajaran bencana harus disampaikan oleh guru yang kompeten, bisa dengan guru geografinya. Pelajaran geografi harus melekatkan pengajaran pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) karena merekalah yang mengajarkan ilmu bumi dan gejolak kebumian. Alangkah sempurna apabila kewapadaan itu masuk ke semua mata pelajaran. Guru sejarah mengajarkan gunung berapi yang dijaga Mbah Maridjan, guru bahasa Indonesia mengajarkan legenda lautnya Ratu Pantai Selatan yang rawan tsunami, atau guru IPA yang mengajarkan mereka merawat hutan dan semua monyet yang ada di Kalimantan Timur. Guru sangat penting posisinya. Upaya serupa sudah digagas PBB, Bakosurtanal dengan 8 Bupati di Aceh beberapa bulan lalu.


Guru dan perencana pembangunan harus bekerja serius. Bappeda dan Bappedal harus berhenti menerima uang suap untuk pengusaha yang membangun mall di sungai kritis, atau lokasi resapan air hujan. Proyek sungai/waduk penampung harus serius dikerjakan. Sekalinya bencana kita bisa siap, tidak usah menyalahkan siapa-siapa.


Alangkah senangnya bila gempa datang tidak ada yang menjerit sampai pingsan. Cukup sirene saja berteriak setengah mati. Anak-anak dan orangtua berlari ke tempat aman menunggu bantuan, listrik dan gas otomatis mati, dan kecelakaan berkurang. Nah, kapan ya mimpi saya ini bisa kesampaian? Batere peringatan dini di tengah laut aja bisa mati tiba-tiba. Bagaimana ini?

No comments:

Blog Archive