Tuesday, February 02, 2010

Sudahlah berhenti, kami semua capek

Ada belasan ribu orang yang berteriak dalam ruangan yang tidak terlalu besar itu. Karena memang tertutup, jeritan paling kecil dari sudut ruangan pasti kedengaran kemana-mana. Ribuan mulut berteriak NASIONAL DEMOKRAT!. Mata saya melotot tajam-tajam, kepala saya bertanya: siapa orang-orang yang diundang Sultan dan Pak Paloh ini? Harapan saya, dari undangan yang hadir, yang berteriak-teriak, memakai baju yang sangat seragam—biru—ini saya bisa menangkap arti dari pertemuan dan deklarasi kemarin, 1 Februari 2010.
Dari ratusan yang duduk di barisan VIP dan diplomat, saya bisa lihat satu-satu orang yang hadir. Mulai dari mantan orang nomor 1 sampe 2, sampai mantan anggota DPR. Wah, ini acara pasti serius. Tak sabar menanti kelanjutannya. Mendengarkan sampai hampir ke ujung pidatonya Pak Surya Paloh, saya makin bingung. Ini acara untuk apa sebenarnya? Tidak ada deklarasi pembentukan partai, tidak ada kalimat: kami tidak percaya pemerintahan sekarang dan meminta mereka yang sedang berkuasa turun kaki. Tidak ada. Lantas, acara yang luar biasa besar untuk ukuran hanya mendeklarasikan sebuah “ormas” ini benar-benar membuat saya geleng kepala. Selusin professor dan ahli politik mau bergabung jelas hal serius. Pasti mereka sudah sangat sibuk di luar, mengapa masih mau kumpul-kumpul bikin Nasdem? Besar sekali modal hanya untuk acara beginian. Di Bistro Penang aja kayaknya bisa. Undang 15 media, pasti jadi headline besoknya----------
-------------Minggu-minggu ini memang hari yang menjengkelkan bagi Pak Boediono, apalagi Pak SBY. Hampir semua media moodnya mengorek-ngorek dan mengejar kabinet mereka. Mencari-cari biang keroknya. Dari gedung Senayan juga begitu. Hiburan ala debat-debatan di televisi—yang bagi saya sudah sampai pada tahap membosankan—tidak mengejar apa yang memang perlu dikejar. Mereka hanya sampai pada mencari kesalahan elite. Bukan mengejar ke ujung mana uang trilyunan lari. Kepercayaan masyarakat emang ada batasnya, buktinya tiap hari ada saja yang protes di jalanan, di media massa dengan smsnya, komentarnya. Di depan kantor saya saja ada demonstrasi selama 2 minggu ini dan orang-orangnya itu-itu juga. Setengah jam setelah tulisan ini saya buat saja akan ada demonstrasi lagi di depan kantornya Pak Boediono. Tetapi sayangnya tidak semua protes karena memang menuntut kebenaran dan keadilan. Oleh karena kemarahan itu sudah memuncak, dan ketidakpuasan menyebar kemana-mana, tak heran Nasdem ini bisa menarik banyak perhatian orang. Perjuangan politik di negara ini hanya perjuangan elit, bukan massa kebanyakan.
Oleh karena itu mereka yang jadi elite tak merasa perlu mencerdaskan masyarakat. Kalau pemilu baru diajak. Maka tak heran kalau ada krisis politik semua biang keladinya bisa ditarik ke elit-elit, orang per orang, kelompok tertentu. Pasti ada di Jakarta sini yang “terlibat” krisis di pedalaman Kalimantan atau Papua sana. Oleh karena itu partai politik, hampir semuanya, gagal total menjadi partai. Partai yang harusnya tempat masyarakat diajak dan diajarkan pintar, justru semakin bodoh, kocar-kacir, dan tak bisa berpikir jernih. Mereka semua gagal bukan hanya melakukan pekerjaanya, tetapi gagal sejak pembentukannya, sejak di dalam rahim. Sel-sel dan jaringan yang dibentuk oleh partai ini juga sakit, dan menyakiti. Oleh karena itu, bila dalam pimpinan pusat partai ada yang mau mengkritisi, pasti segera ditendang, karena partai (mereka piker) hanya milik 2 lusin orang, bukan seluruh bangsa. Lalu, semua yang ditendang ngumpul di satu kuali baru, membentuk kelompok sakit hati baru, partai baru, tingkah laku baru. Kemudian menendang orang lain lagi. Begitu terus. Semua yang pernah ditendang sekarang jadi penguasa. Semua yang pernah jadi penguasa bakalan ditendang juga. Oleh sebab itu harus siap-siap.
Oleh karena itu, banyak politisi kita berpikir kekuasaan itu, kursi presiden dan wapres misalnya, milik bergilir. Mereka merasa merekalah yang menaikkan seorang presiden dan wapresnya. Pemilu hanya ajang dukung fans, oleh karenanya pemilu harus cantik, dipolas-poles, bicara yang manis, menang, lalu duduk. Lalu kalau ada masalah besar, solusinya hanya turunkan presiden dan wapres, gak jauh beda kayak menurunkan foto mereka. Tinggal pasang, besok turunkan, apa susahnya?. Jadi, demonstrasinya pun (walau mahasiswa yang diajak berteriak), tetap pesan dan kritik elit melalui mulut mahasiswa, mulut LSM A, B, C. Orangnya sama, organisasinya ganti nama tiap hari. Musim hujan dia jadi B, musim kemarau jadi C. Tak ada solusi. Hanya teriak minta turun. Tiap hari begitu.
Presiden dan wapresnya tentu bisa salah, tentu bisa keliru, tapi apa kalau berbuat satu hal salah langsung diteriakin dan dipaksa turun? Saya tak mau membahas betapa puluhan trilyun uang pajak habis untuk membayar pemilu. Saya tak mau juga bicara berapa orang yang mati jatuh dari bis ketika konvoi kampanye. Yang saya mau bicara, kita tidak belajar apa-apa. Parpol dan elitenya tidak membuat rakyat belajar apapun. Hanya bisa protes, hanya bisa teriak, hanya bisa menyakiti perasaan, hanya menambah susah. Pak SBY dan timnya harus kita kritik terus, minta perbaikan terus, lihat apa yang dikerjakannya, protes kalau salah. Bukan disuruh turun.
Penguasa juga memang jangan berpikir lain-lain. Harus sensitif dengan penderitaan rakyatnya. Masak sedang dikejar-kejar karena dituduh korupsi malah bagi-bagi mobil mahal, bikin album, beli pesawat presiden, perbaiki rumah pejabat, eh terakhir menaikkan gajinya. Betapa makin kacaunya negara ini. Masyarakat yang tidak belajar politik cerdas gampang diarahkan media dan elite-elite gatal pingin berkuasa. Kita semua harus kontemplasi. Berpikir dalam kerangka lebih luas. Belajar menerima kritik dengan keseriusan menjawabnya dengan tindakan nyata (bukan melapor rakyat meminta belas kasihan di media); yang mengkritik harus dengan cara terhormat, dengan solusi, dengan wajar. Kalau memang tidak berubah, kita pasti tidak akan memilih siapapun yang duduk sekarang lagi di tahun 2014. Kita sudah capek dengan pertengkaran di media, capek dengan kebingungan massal. Capek dengan penguasa yang lambat bergerak. Capek dengan partai yang tak tahu diri dan tidak memperbaiki dirinya. Pokoknya capek.
Oleh karena itu, Pak Surya, Ngarso Dalem, jangan bikin parpol lagi. Sudahlah. Kami sudah capek.

No comments:

Blog Archive